Profile

Seorang Pria dewasa yang telah menikah dengan seorang wanita diberi 1 anak laki-laki, aktif di lingkungan rumah (klu ndak sibuk) bahkan jadi ketua RW, 2 x jadi anggota DPRD serta Ketua Umum Semarang Futsal

Rabu, 22 September 2010

BAB II
KONDISI UMUM KOTA SEMARANG

2.1. KONDISI SAAT INI
Kota Semarang merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah, berada pada perlintasan Jalur Jalan Utara Pulau Jawa yang menghubungkan Kota Surabaya dan Jakarta. Secara geografis, terletak diantara 109o 35‘ – 110o 50‘ Bujur Timur dan 6o 50’ – 7o 10’ Lintang Selatan. Dengan luas 373,70 km2, Kota Semarang memiliki batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut:
- Sebelah utara : Laut Jawa
- Sebelah Selatan : Kabupaten Semarang
- Sebelah Timur : Kabupaten Demak
- Sebelah Barat : Kabupaten Kendal
Sebelum tahun 1976 luas Kota Semarang 99,40 km2 dan setelah terjadinya pemekaran sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1976, dengan menggabungkan sebagian wilayah Kabupaten Semarang, sebagian Kabupaten Kendal, sebagian Kabupaten Demak luas wilayah Kota menjadi 373,70 km2.
Curah hujan tahunan kota Semarang rata-rata sebesar 2.790 mm, suhu udara berkisar antara 22,60 C sampai dengan 32,10 C, dengan kelembaban udara tahunan rata-rata 77%.
Wilayah Kota Semarang seluas 373,70 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 1.419.478 jiwa. Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan. Dari 16 kecamatan yang ada, terdapat 2 kecamatan yang mempunyai wilayah terluas yaitu kecamatan Mijen (57,55 km2) dan Kecamatan Gunungpati (54,11 km2). Kedua Kecamatan tersebut terletak dibagian selatan yang merupakan wilayah perbukitan dan sebagian besar wilayahnya terdapat areal persawahan dan perkebunan. Sedangkan kecamatan yang mempunyai luas terkecil adalah Kecamatan Semarang Selatan (5,93 km2) diikuti oleh Kecamatan Semarang Tengah (6,14 km2) .
Secara topografis Kota Semarang terdiri dari daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai, dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan adanya berbagai kemiringan dan tonjolan. Daerah pantai 65,22% wilayahnya adalah dataran dengan kemiringan 25% dan 37,78 % merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan 15-40%. Kondisi lereng tanah Kota Semarang dibagi menjadi 4 jenis kelerengan yaitu lereng I (0-2%) meliputi kecamatan Genuk, Pedurungan, Gayamsari, Semarang Timur, Semarang Utara dan Tugu, serta sebagian wilayah Kecamatan Tembalang, Banyumanik dan Mijen.
Lereng II (2-5%) meliputi Kecamatan Semarang Barat, Semarang Selatan, Candisari, Gajahmungkur, Gunungpati dan Ngaliyan, lereng III (15-40%) meliputi wilayah di sekitar Kaligarang dan Kali Kreo (Kecamatan Gunungpati), sebagian wilayah kecamatan Mijen (daerah Wonoplumbon) dan sebagian wilayah Kecamatan Banyumanik, serta Kecamatan Candisari. Sedangkan lereng IV (> 50%) meliputi sebagian wilayah Banyumanik (sebelah tenggara), dan sebagian wilayah Kecamatan Gunungpati, terutama disekitar Kaligarang dan Kali Kripik.
Kota Bawah yang sebagian besar tanahnya terdiri dari pasir dan lempung. Pemanfaatan lahan lebih banyak digunakan untuk jalan, permukiman atau perumahan, bangunan, halaman, kawasan industri, tambak, empang dan persawahan. Kota Bawah sebagai pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pendidikan dan kebudayaan, angkutan atau transportasi dan perikanan. Berbeda dengan daeah perbukitan atau Kota Atas yang struktur geologinya sebagian besar terdiri dari batuan beku.
Wilayah Kota Semarang berada pada ketinggian antara 0 sampai dengan 348,00 meter dpl (di atas permukaan air laut). Secara topografi terdiri atas daerah pantai, dataran rendah dan perbukitan, sehingga memiliki wilayah yang disebut sebagai kota bawah dan kota atas. Pada daerah perbukitan mempunyai ketinggian 90,56 - 348 MDPL yang diwakili oleh titik tinggi yang berlokasi di Jatingaleh dan Gombel, Semarang Selatan, Tugu, Mijen, dan Gunungpati, dan di dataran rendah mempunyai ketinggian 0,75 MDPL.
Kota bawah merupakan pantai dan dataran rendah yang memiliki kemiringan antara 0% sampai 5%, sedangkan dibagian Selatan merupakan daerah dataran tinggi dengan kemiringan bervariasi antara 5%-40%. Secara lengkap ketinggian tempat di Kota Semarang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Table 2.1
KETINGGIAN TEMPAT DI KOTA SEMARANG
No. Bagian Wilayah Ketinggian (MDPL)
1. Daerah Pantai 0,75
2. Daerah Dataran Rendah
- Pusat Kota (Depan Hotel Dibya Puri Semarang) 2,45
- Simpang Lima 3,49
3. Daerah Perbukitan
- Candi Baru 90,56
- Jatingaleh 136,00
- Gombel 270,00
- Mijen 253,00
- Gunungpati Barat 259,00
- Gunungpati Tmur 348,00
Sumber : Kota Semarang Dalam Angka Tahun 2005

Didalam proses perkembangannya, Kota Semarang sangat dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang membentuk suatu kota yang mempunyai ciri khas yaitu terdiri dari daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai. Dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan adanya berbagai kemiringan tanah berkisar antara 0 persen sampai 40 persen (curam) dan ketinggian antara 0,75 – 348,00 MDPL.
Di Kota Semarang mengalir 9 (sembilan) sungai besar dan beberapa sungai kecil, adapun 9 sungai besar tersebut antara lain sungai Banjir Kanal Timur, Banjir Kanal Barat, Kali Babon, Kali Kreo, Kali Kripik, Kaligarang, Kali Semarang, Kali Bringin, dan Kali Plumbon. Sedangkan penanganan drainase di Kota Semarang terbagi atas dua karakteristik wilayah, yaitu penanganan daerah atas dan daerah bawah.
Penanganan daerah atas atar terbagi ke dalam beberapa pelayanan DAS, yaitu DAS Babon, DAS Banjir Kanal Timur, DAS Banjir Kanal Barat, DAS Silandak/Siangker, DAS Bringin dan DAS Plumbon. Sementara bagian bawah terbagi kedalam empat sistem drainase meliputi sistem Drainase Semarang Timur, Sistem Drainase Semarang Tengah, Sistem Drainase Semarang Barat dan Sistem Drainase Semarang Tugu.
Arah pembangunan Kota Semarang sangat berkaitan dengan pembangunan manusia yang sejahtera sebagai subyek maupun obyek pembangunan. Kemajuan pembangunan manusia secara makro di Kota Semarang dapat dilihat dari salah satu indikator makro yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Peningkatan angka IPM di Kota Semarang secara umum masih lamban, dari perkembangan IPM selama 10 tahun terakhir mengalami pertumbuhan rata-rata 1 % pertahun. Pada tahun 2005 IPM Kota Semarang mencapai 75,3 yang terdiri dari indeks pendidikan sebesar 82 % yang meliputi angka melek huruf sebesar 94 % dan rata-rata lama sekolah sebesar 58 %, indek kesehatan sebesar 71,8 dan indek daya beli masyarakat sebesar 53 %. Walaupun angka IPM mengalami perkembangan yang tidak signifikan namun selama lima tahun terkahir pembangunan Kota Semarang telah menunjukkan arah yang tepat dimana hasil akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian Jumlah penduduk miskin sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,21 % pertahun. Peningkatan tersebut dipicu dengan adanya krisis ekonomi yang belum pulih.
2.1.1 SOSIAL, BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA
2.1.1.1 Kependudukan dan Keluarga Berencana
Jumlah penduduk Kota Semarang menurut data BPS sampai akhir Desember tahun 2005 sebesar 1.419.478 jiwa. Dengan jumlah sebesar itu Kota Semarang termasuk dalam 5 besar Kabupaten/Kota yang mempunyai jumlah penduduk terbesar di Jawa Tengah. Pertumbuhan penduduk selama 5 (lima) tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat. Jumlah penduduk Kota Semarang tahun 2000 sebanyak 1.309.667 jiwa dan sampai dengan tahun 2005 sebesar 1.419.478 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk selama lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang fluktuatif, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,62 % per tahun.
Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2000 - 2005 dapat dikendalikan dan mengalami penurunan dari 0,02 %, hanya pada tahun 2001 yang mengalami pertumbuhan yang meningkatkan yakni 2,09 % namun pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan kembali sehingga mengalami penurunan. Secara kumulatif pertumbuhan penduduk selama lima tahun terakhir (2000-2005) mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 1,62 % per tahun. Dan persebaran laju pertumbuhan pada masing-masing wilayah sampai dengan tahun 2005 mengalami pertumbuhan yang tidak sama.
Tabel 2.2
Kepadatan Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk
Kota Semarang Tahun 2005

Pertumbuhan penduduk paling tinggi berada di Kecamatan Mijen sebesar 4,94%, kemudian Kecamatan Genuk (4,16%), Kecamatan Pedurungan (3.95%), Kecamatan Gunungpati (3.16%), Kecamatan Tembalang (2.22%), Kecamatan Ngaliyan (1.72%), Semarang Barat (1,57%), Kecamatan Semarang Tengah (1,43%), Tugu (1,43%), kecamatan Gayamsari (0,44%), Gajahmungkur (0,99%).
Kecamatan-kecamatan yang mempunyai pertumbuhan penduduk tinggi merupakan daerah pengembangan areal perumahan dan industri. Sedangkan kecamatan-kecamatan yang mempunyai pertumbuhan penduduk kecil atau bahkan negatif diantaranya adalah Kecamatan Banyumanik (-1.68%), Kecamatan Candisari (-0,38%), Kecamatan Semarang Timur (-0.12%), Kecamatan Semarang Utara (0.38%) dan Kecamatan Semarang Selatan (0.62%).
Pertumbuhan penduduk untuk masing-masing kecamatan di Kota Semarang kondisinya sangat bervariasi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jumlah kelahiran, kematian dan migrasi. Pada tahun 2005 jumlah kelahiran sebanyak 19.504 jiwa, jumlah kematian sebanyak 8.172 jiwa, penduduk yang datang sebanyak 38.910 jiwa dan penduduk yang pergi sebanyak 29.107 jiwa.
Tabel 2.3

Besarnya penduduk yang datang ke Kota Semarang disebabkan daya tarik kota Semarang sebagai kota perdagangan, jasa, industri dan pendidikan.
Pembangunan Keluarga Berencana dan kesejahteraan keluarga, berdasarkan pendataan keluarga 2002 hanya 76,25 persen pasangan usia subur (PUS) menggunakan kontrasepsi, sedangkan 23,75 persen PUS yang sebenarnya tidak ingin anak atau menunda kehamilannya, tidak memakai kontrasepsi (unmet need). Sebagian besar masyarakat, orang tua, maupun remaja belum memahami hak-hak dan kesehatan reproduksi remaja. Pemahaman dan kesadaran tentang hak dan kesehatan reproduksi remaja masih rendah dan tidak tepat. Masyarakat dan keluarga masih enggan untuk membicarakan masalah reproduksi secara terbuka dalam keluarga. Para anak dan remaja lebih merasa nyaman mendiskusikannya secara terbuka dengan sesama teman. Pemahaman nilai-nilai adat, budaya, dan agama yang menganggap pembahasan kesehatan reproduksi sebagai hal yang tabu justru lebih populer. Sementara itu, pusat atau lembaga advokasi dan konseling hak-hak dan kesehatan reproduksi bagi remaja yang ada saat ini masih terbatas jangkauannya dan belum memuaskan mutunya. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah belum sepenuhnya berhasil. Semua ini mengakibatkan banyaknya remaja yang kurang memahami atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang masalah kesehatan reproduksi. Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi ini menyebabkan banyaknya remaja yang berperilaku menyimpang tanpa menyadari akibatnya terhadap kesehatan reproduksi mereka.
Penyerahan kewenangan Bidang KB kepada Pemerintah Kota sesuai dengan Kepres Nomor 103/2001, yang kemudian diubah menjadi Kepres Nomor. 9/2004, menuntut adanya komitmen yang tinggi dari Pemerintah Kota Semarang tentang arti pentingnya pelaksanaan program KB bagi keberhasilan pembangunan. Rata-rata kelahiran total selama tahun 2000-2003 dibawah angka 2 Total Fertility Rate (TFR>2). Indikator ini menunjukkan suatu ukuran dari keberhasilan dalam upaya pengendalian kelahiran.

2.1.1.2 Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian
Jumlah penduduk berdasarkan usia produktif selama lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 1,72%. Pada tahun 2000 sebesar 898.948 jiwa sampai dengan tahun 2005 sebesar 978.949 jiwa. Sekitar 68,97 % penduduk Kota Semarang adalah penduduk usia produktif (15 - 64) tahun dan penduduk usia tidak produktif (0-14 dan 65 tahun keatas) sebesar 31,03 %.
Dari data tersebut diketahui bahwa angka beban tanggungan sebesar 45 % yang berarti setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung sekitar 45 penduduk usia tidak produktif.
Tabel 2.4


Struktur Penduduk menurut tenaga kerja dapat digambarkan berdasarkan pada penduduk usia kerja. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2000 sebanyak 680.150 orang sampai dengan tahun 2005 sebanyak 756.887 orang atau mengalami pertumbuhan rata-rata 2,26% per tahun.
Tabel 2.5


Dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yakni perbandingan antara penduduk usia kerja dengan jumlah angkatan kerja, mulai tahun 2000 sampai dengan 2005 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Pada tahun 2005 merupakan pertumbuhan yang paling tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya yakni sebesar 77,32%. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlunya peningkatan lapangan pekerjaan yang cukup guna menampung banyaknya penduduk usia kerja.
Hubungan industrial tenaga kerja di Kota Semarang sampai tahun 2000 terdapat 326 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan 26 kasus perselisihan hubungan industrial (PHI) sedangkan pada tahun 2005 kasus PHK turun menjadi 263 kasus dan PHI naik menjadi 52 kasus
Upaya perluasan kesempatan kerja dalam rangka mengurangi pengangguran telah dilakukan, antara lain melalui penempatan tenaga kerja baik di dalam maupun di luar negeri, penyelenggaraan bursa kerja, dan pengembangan informasi tenaga kerja. Adapun upaya peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja dilakukan melalui berbagai kegiatan pelatihan kerja dan magang.
Upaya perluasan kesempatan kerja juga dilakukan melalui program transmigrasi, selama lima tahun terakhir jumlah penempatan transmigrasi pada tahun 2000 dan 2004 tidak ada penempatan transmigrasi asal Semarang sedangkan pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 masing-masing sebanyak pada tahun 2001 sebanyak 12 KK (52 jiwa), tahun 2002 sebanyak 14 KK (39 jiwa), tahun 2003 sebanyak 2 KK (2 jiwa) dan pada tahun 2005 sebanyak 10 KK(24 jiwa). Pelaksanaan program transmigrasi tidak semata-¬mata ditekankan pada target pemindahan penduduk, tetapi pada pencapaian kesejahteraan transmigran dan perannya dalam rangka pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di daerah penempatan.

2.1.1.3 Pendidikan
Pembangunan Pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu menghadapi setiap perubahan dan diharapkan dapat membentuk manusia seutuhnya yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, mandiri, bertanggungjawab dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Perkembangan indikator pendidikan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan yang cukup baik.
Keberhasilan pembangunan pendidikan dapat diukur dengan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Kedua indeks ini menjadi indikator utama dalam indeks pendidikan yang menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2005 rata-rata lama sekolah di Kota Semarang mencapai 9,6 tahun atau sebesar 58 %, sedangkan angka melek huruf mencapai 93,6 atau sebesar 94 %. Penduduk Kota Semarang yang masih buta aksara sebagian besar adalah penduduk usia lanjut yang tidak bersekolah.

Tabel 2.6
Perkembangan APK dan APM Pendidikan
Kota Semaran Tahun 2000 - 2005

Dilihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) pada masing-masing jenjang pendidikan tiap tahun mengalami fluktuatif. Sampai dengan tahun 2005 Angka Partisipasi Kasar (APK) sebesar 109,52 % untuk jenjang pendidikan SD/MI, sebesar 87,19 %, untuk jenjang pendidikan SLTP/MTs dan sebesar 83,13 % untuk jenjang pendidikan SLTA/MA. Sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk SD/MI sebesar 95,83 %, SMP/MTs sebesar 76,43 % dan SMA/SMK/MA sebesar 64,23 %.
Pencapaian APM jenjang pendidikan SD termasuk kategori tinggi dibanding APM di sekolah menengah, hal ini disebabkan karena faktor sosial budaya yang menyangkut persepsi orang tua yang sempit sehingga kurang menyadari arti pentingnya pendidikan bagi anak serta faktor ekonomi keluarga yang tergolong kurang mampu, menyebabkan anak usia sekolah menengah tidak bersekolah.
Kondisi Gedung/ruang Kelas apabila dilihat dari kuantitas sudah cukup memadai namun secara kualitas gedung/ruang sekolah sampai dengan tahun 2005 sangat memprihatinkan khususnya untuk Sekolah Dasar. Jumlah gedung/ruang kelas yang rusak untuk SD/MI sebesar 14,19 %, SLTP/MTs sebesar 32,89 % dan SLTA/SMK/MA sebesar 38,46 %, kondisi ini sangat berpengaruh pada kelancaran kegiatan belajar mengajar.
Disisi lain jumlah siswa putus sekolah di Kota Semarang khususnya pada jenjang pendidikan tingkat SLTA/SMK/MA sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan. Pada jenjang jengang pendidikan SD pada tahun 2005 mengalami penurunan di banding tahun-tahun sebelumnya, namun untuk jenjang pendidikan SMA/SMK mengelami kenaikan yakni menjadi sebesar 0,85%. Hal tersebut disebabkan karena faktor ekonomi dan hampir sebagian besar siswa yang tidak meneruskan sekolah berasal dari keluarga miskin. Masyarakat miskin menilai bahwa pendidikan masih terlalu mahal dan belum memberikan manfaat yang signifikan atau sebanding dengan sumberdaya yang dikeluarkan.
Tabel 2.7
Perkembangan Angka Siswa Putus Sekolah
Kota Semarang Tahun 2000 - 2005

Sejak tahun 2005 muncul fenomena berkembangnya pendidikan sekolah berskala internasional. Sekolah Dasar internasional yang pertama berdiri di Kota Semarang adalah Semarang International School.
Penyelenggaraan pendidikan non formal, Kondisi pembangunan pendidikan non formal, dilaksanakan dengan melibatkan peran serta/partisipasi swasta antara lain dalam penyelenggaraan pendidikan non formal/balai latihan kerja/penyelenggaraan kursus. Sampai dengan tahun 2005, jumlah perusahaan atau lembaga swasta yang bergerak di bidang pendidikan non formal/lembaga kursus berjumlah 52 lembaga, dengan jenis pelatihan seperti ketrampilan menjahit, tata boga, komputer, bahas Inggris, dll.
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, berdasarkan data tahun 2005, jumlah lembaga swasta yang menyelenggarakan perguruan tinggi sejumlah 56 unit dengan jumlah mahasiswa sebesar 71.749 orang. Dari tahun ke tahun jumlah perguruan tinggi swasta di Kota Semarang semakin meningkat jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa investasi di bidang pendidikan cukup menjanjikan di Kota Semarang. Semarang terdapat sejumlah perguruan tinggi ternama. Beberapa perguruan tinggi negeri di Semarang antara lain Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Negeri Semarang (UNNES), Politeknik Negeri Semarang (POLINES), Politeknik Pelayaran, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, dan Akademi Kepolisian (AKPOL). Perguruan tinggi swasta antara lain Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA), IKIP PGRI, Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), Universitas Stikubank (UNISBANK), Universitas Tujuhbelas Agustus 1945 (UNTAG), Universitas Semarang (USM), Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Pariwisata (STIEPARI). Banyaknya penyelenggaraan perguruan tinggi di Kota Semarang menjadikan Kota Semarang sebagai salah satu pusat pendidikan di Provinsi Jawa Tengah.
2.1.1.4 Perpustakaan
Mencerdaskan kehidupan masyarakat juga dilakukan melalui penyediaan layanan kondisi perpustakaan dan peningkatan minat baca masyarakat. Kondisi perpustakaan umum dan daerah Kota semarang menunjukkan kecenderungan meningkat dari sisi jumlah, koleksi, pengunjung, dan fasilitas layanan. Perpustakaan yang ada di Kota Semarang pada tahun 2005 terdiri dari perpustakaan umum dan perpustakaan khusus (universitas, sekolah, dan lainnya). Koleksi buku di Perpustakaan di Kota semarang berjumlah 41.208 buku dengan pengunjung mencapai 24.523 orang. Selain itu pelayanan perpustakaan juga dilakukan melalui Taman Bacaan / perpustakaan diwilayah Kecamatan dan perpustakaan keliling. Pada tahun 2005 Jumlah Taman bacaan/perpustakaan di seluruh wilayah Kecamatan di Kota Semarang sebanyak 176 buah.

2.1.1.5. Pemuda dan Olah Raga
Pembangunan Pemuda dan olah raga merupakan salah satu upaya dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa sebagai pemimpin, pelopor dan penggerak pembangunan. Kondisi kepemudaan saat ini harus diakui bahwa semangat kepeloporan pemuda dalam proses pembangunan daerah masih perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dicermati dari kurang mandirinya organisasi kepemudaan yang ada dan kurangnya koordinasi antar organisasi kepemudaan, banyaknya perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan narkoba oleh generasi muda, perilaku seksual menyimpang dan tindak kriminal lainnya. Sampai dengan tahun 2005 jumlah pemuda (penduduk usia 15 – 34 Tahun) di Kota Semarang mencapai 525.355 Jiwa atau 37,5% dari total penduduk Kota Semarang.
Kondisi keolahragaan selama 10 tahun terakhir menunjukkan budaya masyarakat untuk berolahraga belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat, hal ini terlihat dari rendahnya aktifitas olah raga yang dilakukan oleh masyarakat. Disisi lain sarana dan prasarana olah raga belum mendukung terwujudnya budaya berolahraga, dan belum dapat menunjukkan prestasi dibidang olah raga secara optimal baik ditingkat nasional maupun ditingkat internasional. Jumlah fasilitas olahraga di Kota Semarang sampai dengan tahun 2005 adalah sebagai berikut ; lapangan Sepak bola sebanyak 10 buah, lapangan bola voley sebanyak 74 buah, lapangan tenis sebanyak 11 buah, gelanggang olah raga sebanyak 5 buah, lapangan golf sebanyak 4 buah, kolam renang sebanyak 8 buah.

2.1.1.6. Kesehatan
Pembangunan kesehatan di Kota Semarang selama 10 tahun terakhir menunjukan perubahan yang positif, Perubahan derajat kesehatan masyarakat antara lain didukung oleh tingkat ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan serta variabel primer lainnya seperti ketersediaan tenaga medis dan paramedis, manajemen, kualitas pelayanan, dan kesadaran masyarakat serta aspek lain yang bersifat sebagai penunjang terhadap kesehatan. Kondisi Pembangunan kesehatan dapat dilihat dari 3 (tiga) indikator utama yang berpengaruh terhadap keberhasilan bidang kesehatan yaitu Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Usia Harapan Hidup (UHH).
Angka Kematian Ibu (AKI) mengalami pertumbuhan yang fluktuatif, dan pada tahun 2005 Angka Kematian Ibu sebesar 43/1000 Kelahiran Hidup (KH). Jumlah kematian ibu maternal di Kota Semarang pada tahun 2005 sebanyak 10 orang dengan jumlah kelahiran hidup sebanyak 21.445 orang atau 46 orang dari 100.000 KH. Kematian tersebut rata-rata terjadi di tempat pelayanan rujukan, yaitu di Rumah Sakit akibat keterlambatan rujukan dari pelayanan dasar Bidan Praktek Swasta (BPS). Hal ini dapat disebabkan karena terlambat dalam penentuan diagnosa maupun dalam pengambilan keputusan klinik sehingga terlambat sampai ditempat rujukan, pengaruh lain yang menentukan adalah sulitnya keluarga dalam memutuskan keadaan untuk dirujuk.
Angka Kematian Bayi (AKB), Jumlah kematian bayi di Kota Semarang pada tahun 2005 sebesar 122 dari 21.445 Kelahiran Hidup (KH) yang terdiri dari 97 bayi (untuk kematian perinatal dan neonatal). Dan kematian Balita sebanyak 25 anak. Ada banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kematian bayi diantaranya tersedianya berbagai fasilitas atau faktor aksesibilitas dan pelayanan kesehatan dari tenaga medis yang terampil serta kesediaan masyarakat untuk merubah kehidupan tradisional ke norma kehidupan modern. Menurunnya kematian bayi dalam beberapa tahun terakhir disebabkan adanya peningkatan dalam kualitas hidup pelayanan kesehatan pada masyarakat. Angka Kematian Balita (1-4 tahun) adalah jumlah kematian anak usia 1-4 tahun per 1.000 anak balita. Child Mortality Rate (CMR) menggambarkan faktor- faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan anak balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan. Indikator ini dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan sosial dan tingkat kemiskinan penduduk. Jumlah ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang mencapai 136 anak/bayi.
Angka Harapan Hidup (AHH) Kota Semarang sampai tahun 2005 mencapai 70 tahun, angka ini di atas angka harapan hidup tingkat Nasional sebesar 65 tahun.
Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan di Kota Semarang, yakni dengan masih ditemukannya beberapa kasus penyakit menular. Angka penyakit menular pada tahun 2005 sebagai berikut jumlah penderita DBD sebanyak 2.297 kasus pada tahun 2005, jumlah penderita DBD sebanyak 1.845 kasus, Jumlah penderita TB Paru BTA (+) sebanyak 812 kasus , jumlah HIV positif 75 kasus, penderita AIDS sebanyak 11 kasus, penderita kasus narkoba 41 kasus, dan NAPSA 102 kasus
Kondisi pelayanan kesehatan di Kota Semarang sampai dengan tahun 2005 untuk cakupan pelayanan kesehatan telah menjangkau ke seluruh wilayah, hal ini dapat dilihat dari jumlah fasilitas kesehatan yang ada di Kota Semarang. Jumlah Rumah Sakit sebanyak 14 buah, Rumah Sakit Bersalin dan Rumah Bersalin sebanyak 30 buah, Puskesmas 37 buah dengan 11 Puskesmas Perawatan dan Puskesmas Pembantu 33 buah.
Puskesmas, Puskesmas Perawatan dan Puskesmas Pembantu sebagai ujung pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan jumlah 70 buah sehingga rata-rata tiap kecamatan dilayani oleh 4 buah, serta didukung oleh fasilitas kesehatan lainnya memberikan gambaran bahwa pelayanan fasilitas kesehatan masyarakat telah mencukupi.
Dan untuk jumlah tenaga medis yang ada di Kota Semarang sampai dengan tahun 2005 baik dari instansi pemerintah maupun Swasta adalah sebanyak 7.516 orang, secara rinci jumlah tenaga medis pada setiap jenis sebagaimana tabel dibawah ini.
Tabel 2.8

Tabel 2.9


Ketersediaan fasilitas kesehatan yang ada di Kota Semarang, tidak hanya dimanfaatkan oleh penduduk Kota Semarang, tetapi juga dimanfaatkan oleh penduduk di hinterland Semarang seperti Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Kendal. Kelengkapan fasilitas yang ditawarkan oleh RS Umum dan RS Swasta di Kota Semarang menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk di sekitar kota-kota Semarang. Dari tahun ke tahun sarana pelayanan kesehatan semakin meningkat jumlahnya karena penduduk yang memanfaatkan fasilitas kesehatan semakin meningkat jumlahnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di Kota Semarang dan kota-kota disekitarnya. Dengan adanya kenyataan ini, maka pembangunan kesehatan di Kota Semarang merupakan peluang pengembangan investasi di bidang kesehatan.

2.1.1.7. Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial merupakan hal-hal yang berkaitan dengan keterlantaran baik anak maupun orang usia lanjut, penderita cacat, korban bencana alam dan korban bencana sosial. Pembangunan Kesejahteraan sosial di Kota Semarang ditandai dengan fenomena munculnya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Perkembangan jumlah PMKS selama kurun waktu 10 tahun terakhir menunjukkan kencenderungan meningkat, keadaan ini dipacu oleh semakin sulitnya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Perkembangan jumlah penyandang masalah sosial dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 mengalami perkembangan yang fluktuatif, pada tahun 2000 jumlah PMKS sebanyak 1.979 orang dan sampai dengan tahun 2005 sebanyak 3.583 orang atau mengalami peningkatan rata-rata 16,21 % per tahun.

Tabel 2.10


Permasalahan penyandang masalah sosial khususnya gepeng, Waria, WTS dan Anjal belum dapat diselesaikan secara tuntas dikarenakan sifatnya musiman dan mereka kebanyakan bukan penduduk asli Kota Semarang.
Perkembangan fasilitas sosial yang tersedia di Kota Semarang sampai dengan tahun 2005 sebanyak 5 buah panti jompo, 40 buah panti asuhan, 3 rumah singgah, 90 buah yaysan social dengan jumlah sasaran garapan 4.381 orang, 895 pekerja sosial dan 78 organisasi sosial.
Tabel 2.11


Bentuk-bentuk fasilitas sosial yang ada di Kota Semarang mencakup untuk kesehatan, pendidikan, penyandang masalah kesejahteraan sosial (pengemis dan gelandangan) untuk penduduk lanjut usia, yatim piatu, mantan narapidana dan tuna wisma.
Rumah Sakit disamping untuk tujuan komersial juga membawa misi untuk membantu masyarakat yang kurang mampu dengan cara menyediakan ruangan khusus pengabdian.
Disamping itu juga tersedia balai-balai pengobatan yang diselenggarakan Yayasan-yayasan Sosial dengan maksud untuk memberi pelayanan kesehatan bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial. Yayasan Sosial Sugiyopranoto, Balai Pengobatan dan Panti Asuhan Muhammadiyah, Panti Wreda, serta yayasan-yayasan lain yang bernaung di bawah organisasi kemasyarakatan keagamaan adalah beberapa contoh aktivitas dan keterlibatan masyarakat dalam pelayanan untuk kebutuhan kesejahteraan sosial. Disamping itu juga terdapat rumah singgah yang diselenggarakan yayasan-yayasan sosial dengan maksud dan tujuannya adalah untuk membantu anak dan remaja penyandang tuna wisma (pengemis dan gelandangan) yang dalam kegiatannya dimaksudkan memberi fasilitas singgah atau menginap, serta pendidikan, pelatihan, dan perlindungan kepada mereka sebab diantara mereka tidak sedikit yang masuk dalam usia anak-anak dan/remaja.
Kesejahteraan masyarakat ditandai dengan fenomena permasalahan kesejahteraan sosial masih banyak ditemui di Kota semarang. Walaupun upaya penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) terus dilakukan tetapi belum berhasil mengurangi jumlah PMKS secara signifikan. Kondisi ini ditandai dengan masih banyaknya permasalahan sosial yang muncul dan berkembang seperti meningkatnya jumlah penduduk miskin (seperti gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan anak terlantar), tindak kekerasan, korban bencana alam, dan PMKS lainnya.

2.1.1.8. Kemiskinan
Secara umum kondisi penduduk miskin ditandai oleh ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam hal: 1) memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, serta kesehatan; 2) melakukan kegiatan usaha produktif; 3) menjangkau akses sumber daya sosial dan ekonomi; 4) menentukan nasibnya sendiri dan senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif dan eksploitatif; dan 5) membebaskan diri dari mental dan budaya miskin.
Namun disisi lain jumlah Keluarga Miskin mengalami kenaikan yang cukup signifikan, pada tahun 1996 sebesar 11.987 KK sampai dengan tahun 2005 mencapai sebesar 56.322 KK atau mengalami kenaikan rata-rata sebesar 44 % per tahun, hal ini menunjukkan bahwa penduduk miskin di Kota Semarang merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat, walaupun upaya penanganan terhadap mereka sudah dilakukan dan melibatkan banyak pihak namun masalah tersebut secara empiris tidak nampak hasilnya.



Tabel 2.12

Dari data persebaran penduduk miskin di Kota Semarang Tahun 2005 paling besar di Kecamatan Semarang barat yakni sebanyak 6.213 KK atau 24.852 jiwa.
Penanggulangan kemiskinan telah menjadi agenda dan prioritas utama pembangunan serta telah dilaksanakan dalam kurun waktu yang panjang. Berbagai strategi, kebijakan, program, dan kegiatan penanggulangan kemiskinan baik yang bersifat langsung (program khusus) maupun yang tidak langsung telah diimplementasikan, namun demikian hasilnya belum optimal, salah satunya ditandai dengan masih banyaknya penduduk miskin di Kota Semarang. Penanggulangan kemiskinan bukanlah hal yang mudah diatasi, mengingat kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional. Di samping itu, kemiskinan juga merupakan masalah sosio-ekonomi yang memiliki kandungan lokalitas yang sangat bervariasi.
Upaya riil yang telah ditempuh sebagai upaya penanggulangan kemiskinan di Kota semarang adalah 1) pengurangan beban biaya bagi penduduk miskin dengan mengurangi pengeluaran kebutuhan dasar seperti akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi, dan 2) meningkatkan pendapatan atau daya beli penduduk miskin melalui peningkatan produktivitas, dimana masyarakat miskin memiliki kemampuan pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial budaya maupun politik. Bentuk riil tersebut dilaksanakan melalui program antara lain Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).

2.1.1.9. Kebudayaan
Sebagai kota pesisir/pantai dan kota niaga yang cukup tua, Kota Semarang memiliki beberapa jenis budaya, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Budaya terrsebut lahir dari proses akulturasi budaya asli dengan budaya yang dibawa para pendatang. Banyak sekali peninggalan dalam bentuk kesenian maupun yang masih hidup dan berkembang termasuk beberapa peninggalan bangunan kuno. Peninggalan bangunan sejarah berjumlah 170 buah yang terdiri dari bangunan budaya sebanyak 3 buah, bangunan tempat ibadah sebanyak 24 buah, bangunan kesehatan sebanyak 3 buah, Bangunan Perkantoran 46 buah, bangunan Pemerintahan sebanyak 13 buah, bangunan pendidikan sebanyak 11 buah, Bangunan pengangkutan sebanyak 3 buah, bangunan rumah tinggal sebanyak 56 buah, dan bangunan lainnya sebanyak 11 buah.
Keragaman budaya itu menjadi kekayaan yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Dari data organisasi kesenian yang ada di Kota Semarang tercatat sebanyak 321 organisasi kesenian yang terdiri dari organisasi kesenian qosidah, ketoprak, drama/teater, sanggar seni, grup tari, karawitan, orkes melayu dan campursari, gambang semarang, keroncong, wayan orang dan lain-lain.

Tabel 2.13

Upaya mempertahankan budaya di Kota Semarang sudah dilakukan dengan pagelaran seni dan budaya secara rutin tahunan. Aspek budaya Kota Semarang ini merupakan modal dasar sekaligus kearifan lokal yang sangat penting dan potensial bagi Kota Semarang untuk mengembangkan diri dalam jangka panjang tanpa harus tercabut dari akar budayanya. Pembangunan yang berbasis pada budaya dan kearifan lokal memiliki daya tahan terhadap pengaruh negatif dari budaya asing dan globalisasi yang kontraproduktif dengan nilai-nilai budaya lokal.

2.1.1.10 Agama
Kehidupan beragama di Kota Semarang selama ini berlangsung dalam toleransi yang cukup tinggi, namun masih belum sepenuhnya menjadi perilaku dalam tata hubungan kemasyarakat. Keharmonisan tersebut salah satunya dapat dilihat dari banyaknya tempat ibadah yang ada di sekitar warga yang majemuk, serta kondusifnya situasi kehidupan beragama dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya masing-masing.
Tabel 2.14


Jumlah pemeluk agama islam di Kota Semarang sampai dengan tahun 2005 mayoritas adalah bergama Islam yakni sebesar 82,90 %. Sedangkan jumlah tempat ibadah pada tahun 2005 adalah sebagai berikut masjid sebanyak 969 buah, mushola sebanyak 1.694 buah, gereja/kapel sebanyak 251 buah, vihara/kuil sebanyak 32 buah, dan pura sebanyak 4 buah.
Tabel 2.15


Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam menjaga kerukunan hidup beragama adalah melalui berbagai forum silaturohmi antara pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dll. Disamping itu juga dilakukan melalui fasilitasi kegiatan keagamaan.

2.1.1.11 Perempuan dan anak
Kondisi pembangunan dalam perlindungan perempuan dan anak dilaksanakan melalui pengarustamaan gender dan perlindungan anak. Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan jenis kelamin perempuan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 mempunyai proporsi lebih besar dari pada penduduk laki-laki. Pada tahun 2000 proporsi perempuan sebesar 50,27 % dan pada tahun 2005 jumlah penduduk perempuan sebanyak 713.815 atau sebesar 50,29 % dari jumlah penduduk Kota Semarang.
Tabel 2.16

Upaya perlindungan anak juga dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hak tumbuh kembang anak sesuai dengan perkembangan usianya. Upaya ini juga dimaksudkan untuk melindungi anak terlepas dari eksploitasi ekonomi dan kekerasan yang kerap menimpa baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Upaya perlindungan terhadap perempuan juga telah dilakukan melalui fasilitasi dan advokasi kepada organisasi/lembaga perempuan antara lain dengan dibentuknya Seruni. Perkembangan jumlah organisasi wanita sampai dengan tahun 2005 sebanyak 28 buah.
Tabel 2.17
ORGANISASI SOSIAL WANITA
DI KOTA SEMARANG
NO ORGANISASI ALAMAT

1 Al Hidayah Jl. Sunan Bonang II No. 9
2 Tiara Kusuma Jl. Borobudur Utara Raya No. 38
3 Perip TNI Polri Jl. Rejomulyo II/ 2
4 Dharma Wanita Persatuan Jl. Dr. Sutomo No. 19
5 Bhayangkara Jl. Dr. Sutomo No. 5
6 Ikawati 17 Jl. Pawiyatan Luhur Bendan Dhuwur (UNTAG)
7 YPSMI Jl. Kedungmundu No. 99
8 WKRI Jl. Lempongsari Barat III/353
9 PWKI Jl. Julungwangi II No. 269
10 IIDI Jl. Sambiroto Baru Raya 28 A
11 PERWARI Jl. Rejosari I No. 4
12 Muslimat NU Jl. KH. Thohir 35 Penggaron
13 Wirawati Catur Panca Jl. Kesatrian G No. 5
14 Aisyiah Jl. Wonodri Krajan III / 684
15 Himpunan Wanita Karya Jl. Lompo Batang No. 11
16 Wanita Islam Jl. Lintang Trenggono IV / 23
17 Adyaksa Dharmakarini Jl. Abdulrahman Saleh 5 - 9
18 Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jl. Kedungmundu No. 30
19 Persatuan Wanita Nangka (PWN) Jl. Nangka Barat No. 9
20 Persit KCK Jl. Pemuda No. 153
21 Jala Senastri Jl. R.E. Martadinata No. 12
22 Perwanas Jl. Meranti Timur Dalam IV / 17
23 Pepabri Jl. Rumpun Diponegoro II / 13
24 Wanita Satya Praja Jl. Menoreh Selatan III No. 9
25 KOWAVERI Jl. Sugiyopranoto No. 2
26 Rukun Ibu Singosari Jl. Singosari X No. 4
27 KERTA Gedung Juang 45, Jl. Pemuda 163
28 Himpunan Wanita Pejuang Jl. Citra Blok E/6 Perum Graha Estetika, Banyumanik

Indikator kondisi perempuan diukur dengan indeks pembangunan gender, yang terdiri dari angka harapan hidup perempuan tahun 1999 mencapai 72,2 sedangkan laki-laki 68,3, Angka melek huruf perempuan 90,3% dan rata-rata lama sekolah sebesar 8,0. Dari gabungan beberapa indikator yang digunakan indeks perberdayaan gender Kota Semarang sebesar 64,5, ini berarti masih ada berbagai bias gender.
Indikator lain dalam mengukur indeks pembangunan gender di Kota Semarang adalah komposisi angota parlemen untuk hasil pemilu tahun 2004 proporsi perempuan dalam legislatif sebesar 15 %. Untuk tenaga kepemimpinan dan tenaga profesional di Kota Semarang sampai tahun 2005 mencapai 36,6 %, walaupun demikian indeks pemberdayaan gender mencapai 61,1, tetapi masih menggambarkan keadaan yang belum mengarah pada posisi adil gender.

2.1.2. EKONOMI
2.1.2.1. Kondisi dan Struktur Ekonomi
Kondisi makro perekonomian Kota Semarang selama lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Berdasarkan harga konstan 1993, pertumbuhan ekonomi periode tahun 2000 - 2005 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 4,36% per tahun. Pada tahun 2000 sebesar 4,97 % dan sampai dengan tahun 2005 pertumbuhan ekonomi turun menjadi 4,16 %.
Tabel 2.18

Penurunan pertumbuhan pada tahun 2002 dan tahun 2004 disebabkan oleh Kebijkan Pemerintahan menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL).
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi tersebut terbesar dipengaruhi oleh kontibusi lapangan usaha atau sektor-serktor ekonomi yang di Kota Semarang. Sektor dominan yang mempunyai kontribusi paling besar terhadap PDRB adalah yakni Perdagangan, Hotel dan Restoran; Industri Pengolahan dan Jasa-jasa.


Tabel 2.19

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi tersebut dipengaruhi oleh kontribusi lapangan usaha atau sektor-sektor ekonomi yang ada di Kota Semarang. Sektor dominan yang mempunyai kontribusi paling besar terhadap PDRB adalah Perdagangan, Hotel dan Restoran; Industri Pengolahan dan Jasa-jasa. Perdagangan, Hotel dan Restoran selama kurun waktu tahun 2000 – 2005 memberikan kontribusi rata-rata sebesar 34,98 % per tahun, kemudian diikuti sektor dominan lainnya yaitu sektor industri pengolahan dengan rata-rata sebesar 31,39 % per tahun dan Sektor Jasa-jasa dengan rata-rata sebesar 12,73 % per tahun. Sedangkan sektor-sektor usaha lainnya yang memberikan kontribusi terhadap PDRB yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi dengan rata-rata sebesar 7,11 % per tahun, sektor Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 6,84 % per tahun, sektor Bangunan sebesar 4,30 % per tahun, sektor Listrik Gas dan Air minum sebesar 1,47 % per tahun, sektor Pertanian sebesar 0,92 % per tahun dan sektor Pertambangan dan penggalian dengan rata-rata sebesar 0,25 % per tahun.


2.1.2.2. Industri
Industri merupakan salah satu sektor andalan Kota Semarang dalam menunjang pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Selama 5 tahun terakhir omzet sektor industri meningkat, yaitu dari Rp 3,96 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 4,46 triliun pada tahun 2005. Adapun jumlah investasi industri di Kota Semarang mengalami peningkatan dari Rp 13,37 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 13,81 triliun pada tahun 2005. Sementara itu jumlah industri meningkat dari 3.443 unit pada tahun 2001 menjadi 4.115 pada tahun 2005 dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 162.673 orang pada tahun 2005.
Jumlah Industri di Kota Semarang yang ada sebanyak 2.974 unit terdiri dari 1.158 industri besar dan industri menengah 627 dan 1.816 industri kecil (formal). Selain itu masih ada 1.141 unit industri kecil non-formal (kerajinan rumah tangga) yang tidak memiliki izin industri/tanda daftar industri. Sebagian besar dari industri-industri tersebut terutama industri besar dan menengah (39 %), serta industri kecil baru (19%) sudah ditempatkan di kawasan-kawasan industri.
Total luas kawasan industri di Kota Semarang ada 9 lokasi, menempati lahan seluas 1.326 Ha dengan jumlah unit usaha industri di kawasan industri tersebut sebesar 733 unit perusahaan.

2.1.2.3. Koperasi dan UKM
Koperasi dan usaha kecil menengah memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peranan koperasi sebagai sokoguru perekonomian dan pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah terbukti lebih mampu bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi, ketika banyak perusahaan skala besar banyak yang kolaps bahkan harus menutup perusahaanya, usaha-usaha mikro, kecil dan menengah masih mampu bertahan ditengah badai krisis.
Perkembangan koperasi mengalami peningkatan, hal ini dapat lihat dari jumlah koperasi di Kota Semarang sampai dengan tahun 2005 sebanyak 1.054 unit yang terdiri diri Koperasi Aktif sebanyak 596 unit dan koperasi tidak aktif 458 unit, yang berarti meningkat dibanding tahun 2000 yang tercatat sebanyak 969 unit koperasi yang terdiri dari 865 unit koperasi aktif dan sebanyak 104 unit koperasi tidak aktif .
Dilihat dari modal koperasi UKM, perkembangannya juga mengalami peningkatan, sampai dengan tahun 2005 modal koperasi sebesar Rp. 258.285.000.000,- dan modal UKM sebesar Rp. 61.057.000.000,-.
Permasalahan mendasar yang terjadi adalah masih lemahnya akses UMKM terhadap pembiayaan untuk peningkatan modal usaha, khususnya akses pada perbankan/lembaga keuangan, selain itu masih terkendala di bidang pemasaran dan kualitas sumberdaya pengelola koperasi.
Upaya dalam pengembangan koperasi dan UMKM di Kota Semarang telah dilakukan melalui fasilitasi akses permodalan, dan penguatan kelembagaan dan manajemen kewirausahaan.

2.1.2.4. Investasi
Investasi PMA Kota Semarang dilihat dari jumlah proyek selama lima tahun terakhir mengalami penurunan dari 57 proyek pada tahun 2001 menjadi 47 proyek pada tahun 2005. Namun, apabila dilihat dari nilai investasi mengalami kenaikan, yaitu dari 96,68 juta US$ pada tahun 2001 menjadi 610,43 juta US$ pada tahun 2005. Jumlah proyek PMDN juga mengalami penurunan dari 26 proyek dengan nilai investasi Rp. 2,91 triliun pada tahun 2001 menjadi 20 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp1.91 triliun pada tahun 2005.
Upaya untuk mendorong tercapainya pemenuhan kebutuhan investasi swasta dan berkembangnya sektor riil, diperlukan berbagai kebijakan pemerintah, meliputi penciptaan iklim kondusif bagi dunia usaha, peningkatan produktivitas tenaga kerja, serta penyediaan infrastruktur yang memadai, Pemerintah Kota Semarang telah mendukung penciptaan kebijakan pemerintah yang pro investasi dan dapat mendorong berkembangnya sektor riil. Kebijakan tersebut adalah penciptaan iklim kondusif bagi investor dalam dan luar negeri dalam segala hal, seperti kepastian hukum, promosi terpadu, intermediasi perbankan, ketenagakerjaan, penyediaan infrastruktur yang memadai dan kebijakan tata ruang yang konsisten.

2.1.2.5. Pertanian
Dari segi perekonomian Kota Semarang, kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB sangat kecil yaitu 0,67 % atau sebesar Rp. 42.187.230,- berdasarkan harga konstan 1993. namun jika dhitung dengan harga berlaku sebesar 0,9 % atau sebesar Rp. 214.970.364,-. Dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB relatif kecil namun penyerapan tenaga kerja pada sektor ini sebanyak 14.360 penduduk atau 2,26 % dari penduduk Kota Semarang.

Tabel 2.20
LAHAN PERTANIAN KOTA SEMARANG
TAHUN 2000 - 2005


Tabel 2.21
PERKEMBANGAN JUMLAH PETANI DAN BURUH TANI
KOTA SEMARANG TAHUN 2000 - 2005


Luas lahan pertanian produktif Kota Semarang selama kurun waktu lima tahun terkahir mengalami penurunan kualitas. Penurunan tersebut merupakan konsekuensi logis dari wilayah perkotaan sebagai akibat beralihnya tenaga kerja pertanian menjadi pekerja lain yang menjanjikan pendapatan lebih baik.
Sektor pertanian mencakup tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, dan kehutanan. Kontribusi terbesar dari sektor ini adalah peternakan dan tanaman bahan pangan. Sendangkan kontribusi terkecil dari kehutanan. Berdasarkan harga konstan tahun 1993 kontribusi peternakan sebesar 44 % sedangkan kontribusi tanaman bahan makanan sebesar 40 % terhadap sektor pertanian. Dan untuk harga berlaku kontribusi peternakan sebesar 46 % dan kontribusi sektor tanaman bahan makanan sebesar 46 %.
Dari sektor peternakan kontribusi yang cukup dalam pertumbuhan ekonomi, hal ini dilihat dari jumlah populasi yang semakin meningkat di Kota Semarang, seperti ternak ayam ras petelur, sapi potong, ayam buras, sapi perah, kambing dan domba dengan peningkatan rata-rata per tahun sebesar 13,06 % dengan produk hasil ternak pada tahun 2005 yakni telur sebanyak 5.894.804 butir, susu sebesar 3.488.907 liter dan daging baik unggas maupun non unggas sebesar 11.686.159 kg.
Pada sektor tanaman bahan pangan terdiri dari komoditas Padi dan palawija, tanaman empon-empon, buah-buahan serta tanaman perkebunan rakyat. Secara umum tiap komoditas mengalami peningkatan kecuali komoditas tanaman buah-buahan, pada tahun 2005 komoditas padi dan palawija sebesar 7.431,83 ton, tanaman empon-empon sebesar 428 ton yang merupakan faktor pendukung perkembangan industri jamu sebagai salah satu produk Unggulan Daerah. Komoditas tanaman perkebunan rakyat sebesar 193,56 kwintal, sedangkan komoditas buah-buahan sebesar 67,53 kg/pohon. Upaya yang telah dilakukan dalam mendorong bidang pertanian melalui pemberian sarana dan prasarana produksi pertanian, pembinaan dan penguatan kelembagaan kelompok petani serta penanganan pasca panen.


2.1.2.6. Kelautan dan Perikanan
Pada bidang pembangunan kelautan dan perikanan terjadi tekanan yang sangat berat terhadap sumber daya laut pada wilayah pantai utara Kota Semarang karena adanya usaha penangkapan ikan yang berlebihan. Komoditas perikanaan selama beberapa tahun terakhir mengalami penurunan baik dari luas areal lahan maupun dari jumlah produksi perikanan. Komoditas hasil perikanan secara umum mengalami penurunan, pada tahun 2005 untuk produksi perikanan darat/tambak sebesar 615,4 ton atau mengalami penurunan rata-rata sebesar 4,69 % per tahun dan untuk produksi perikanan darat/kolam sebesar 55,7 ton atau mengalami penurunan rata-rata sebesar 34,94 % per tahun.
Tabel 2.22
LAHAN PERIKANAN KOTA SEMARANG
TAHUN 2000 - 2005


Dari data lahan perikanan di Kota Semarang tahun 2000-2005, luas lahan perikanan mengalami penurunan dari tahun 2000 seluas 1.572,100 ha menjadi 1.230,360 ha atau 4,35 % per tahun.
Penurunan produktifitas perikanan juga disebabkan rsendahnya penggunaan teknologi perikanan dan kurangnya sarana prasarana masih menjadi permasalahan bagi nelayan. Nelayan juga harus dihadapkan pada kondisi alam yang ekstrem selama 4 bulan (sekitar November – Februari) setiap tahunnya, menyebabkan tidak dapat melaut sedangkan mereka tidak mempunyai alternatif mata pencaharian lain sehingga berakibat turunnya penghasilan yang diperoleh dan berpengaruh terhadap kehidupan rumah tangga nelayan.
Upaya dalam pembangunan bidang kelautan dan perikanan dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, pemberian sarana prasarana produksi kelautan dan perikanan, pembinaan dan penguatan kelembagaan kelompok petani nelayan serta penanganan pasca panen.

2.1.2.7. Pertambangan
Dalam bidang pertambangan Pemerintah Kota Semarang selama ini dilakukan hanya memberikan rekomendasi untuk penerbitan ijin penggalian bahan tambang golongan C dan pemanfaatan Air Bawah Tanah (ABT), yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Penggalian bahan tambang galian C yang ada di Kota Semarang berupa penggalian tanah urug, pasir dan batu yang berada di Kelurahan Ngaliyan, Banbankerep dan Wonosari Kecamatan Ngaliyan.
Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang adalah dengan pengawasan dan pengendalian terhadap pemanfaatan bahan galian C dan ABT. Namun demikian masih sering terjadi kasus-kasus pelanggaran terhadap ijin galian yang diterbitkan sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.



2.1.2.8. Perdagangan
Proporsi sektor perdagangan dalam perekonomian daerah juga sangat signifikan. Sektor Perdagangan yang di dalamnya termasuk hotel dan restoran menjadi penyumbang terbesar dalam PDRB kota Semarang, yakni sebesar 35,62% pada tahun 2005. Berdasar harga konstan 1993, nilai ekonomi dari sektor perdagangan pada tahun 2005 mencapai Rp. 2,2 trilyun, berdasar harga berlaku sebesar Rp. 9,1 trilyun.
Pertumbuhan sektor perdagangan selama lima tahun terakhir (2001-2005) berdasar harga konstan menunjukkan angka pertumbuhan yang stabil, sekitar 5 %. Jika dihitung berdasar harga berlaku menunjukkan penurunan, dari 14 % tahun 2001 menjadi 13 % pada tahun 2005. Perkembangan aktivitas perdagangan di Kota Semarang selama 10 tahun terus mengalami peningkatan, perdagangan tidak bisa dipisahkan dari ketersediaan sarana prasarana perdagangan. Distribusi barang tidak mengalami hambatan yang berarti, hal ini dapat dilihat pada lima tahun terakhir belum pernah mengalami kelangkaan distribusi bahan kebutuhan masyarakat, ini disebabkan lalulintas barang dapat dilakukan baik melalui darat, laut maupun udara. Untuk jalur laut dan udara melalui pelabuhan Tanjung Emas dan Bandara Ahmad Yani, jalur darat melalui jalan arteri Pantura, serta jaringan kereta api, baik pada jalur Pantura mapun jalur Selatan Jawa.
Prasarana perdagangan sampai dengan tahun 2005 memliki 47 pasar tradisional dengan kondisi baik sebanyak 1 buah, rusak sedang 7 buah sedangkan rusak berat sebanyak 37 buah ; 19 pasar lokal; 54 pasar swalayan; 3 pasar grosir dan 11 mall/plaza. Dari data tersebut terdapat 23 pusat perbelanjaan modern yang terbesar di wilayah Kota dan daerah pengembangan. Keberadaanya merupakan cabang jaringan supermarket internasional, nasional dan regional. Upaya Pemerintah Kota Semarang dalam mendorong pertumbuhan bidang perdagangan dilakukan melalui meningkatkan sarana prasana distribusi produk, kemudahan perijinan dalam berusaha, memberikan kepastian berusaha, dan mendorong terbentuknya pusat-pusat perdagangan baru.

2.1.2.9. Pariwisata
Pembangunan pariwisata di Kota Semarang selama beberapa tahun terakhir mengalami penurunan yakni rata-rata 0,74 % per tahun. Sumbangan sektor pariwisata terhadap perekonomian Kota Semarang cukup besar, namun struktur PDRB yang ada tidak mengukur sumbangan pariwisata secara langsung. Sumbangan pariwisata tersebar di sektor-sektor ekonomi yang lain seperti sumbangan hotel dan restoran dalam sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan jasa pariwisata masuk dalam sektor Bank dan Jasa-jasa.
Berdasarkan perkembangan jumlah pengunjung dan pendapatan pariwisata selama lima tahun terakhir 2000-2005 jumlah kunjungan wisata mengalami pertumbuhan yang fluktuatif rata-rata sebesar 9,65 % per tahun. Dari sejumlah 18 obyek wisata yang ada di Kota Semarang pada tahun 2005 jumlah wisatawan sebanyak 640.316 wisatawan dengan jumlah wisatawan asing relatif kecil yakni sebesar 6.713 orang atau sebesar 1 % dari total wisatawan.
Tabel 2.23


Dari data tersebut wisatawan nusantara tercatat paling banyak mengunjugi obyek Puri Maerokoco, sedangkan wisatawan asing banyak mengunjungi Museum Jamu Djago dan Museum Nonya Meneer. Jumlah obyek wisata yang ada di Kota Semarang terdiri dari wisata bahari, landscape, pendidikan, religi, budaya, hingga wisata kuliner.
Pariwisata di Kota Semarang didukung oleh fasilitas pariwisata lengkap seperti akomodasi, rumah makan, Money changer, pusat-pusat perbelanjaan, Biro perjalanan wisata serta fasilitas infrastruktur lainnya. Namun, kondisi objek wisata, baik alam maupun buatan tersebut belum dikelola dengan optimal, sehingga objek wisata yang ada kurang kompetitif dalam persaingan pasar regional maupun global.
Sedangkan untuk tingkat hunian hotel berbintang di Kota Semarang tahun 2005 menunjukkan rata-rata lama menginap sebesar 1,37 hari yang terdiri dari wisatawan asing sebesar 1,64 hari dan domestik sebesar 1,35 hari. Untuk tingkat hunian kamar hotel melati sebesar 608.067 oarang yang terdiri asing sebesar 116 orang dan domestik sebesar 507.951 orang. Jumlah hotel bintang, melati dan wisma di Kota Semarang tahun 2005 mencapai 96 buah, yang terdiri dari Hotel Bintang 5 sebanyak 3 buah, bintang 4 sebanyak 3 buah, bintang 3 sebanyak 8 buah, bintang 2 sebanyak 8 buah, bintang 1 sebanyak 13 buah, Melati 3 sebanyak 15 buah, melati 2 sebanyak 16 buah, melati 1 sebanyak 19 buah dan wisma sebanyak 11 buah.
Sedangkan jumlah biro perjalanan di Kota Semarang tahun 2005 sebanyak 63 buah
Upaya Pemerintah Kota Semarang dalam mendorong pertumbuhan pariwisata dilakukan melalui meningkatkan sarana prasana kepariwisataan, kemudahan perijinan dalam usaha pariwisata, dan penambahan obyek wisata, serta pemasaran pariwisata.
2.1.3 ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hal ini didukung dengan ketersediaan telekomunikasi dan informatika yang mudah diakses oleh masyarakat. Mulai tahun 2002 telah dibangun SIM dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kota Semarang. Sampai dengan tahun 2005 dalam penguasaan teknologi informasi Pemerintah Kota Semarang telah terbangun 15 (lima belas) Sistem Manajemen Daerah (SIMDA) yang meliputi Sistem Informasi Kepegawiaan (SIMPEG), Sistem Informasi Kependudukan (SIMDUK), Sistem Informasi Barang Daerah (SIMBADA); dan 1 (satu) Website Pemerintah Kota Semarang.
Penelitian dan pengembangan merupakan salah satu pendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai penelitian sudah dilaksanakan, baik oleh pemerintah daerah, perguruan tinggi, maupun institusi lainnya. Kelemahan dalam penelitian yang dilaksanakan oleh berbagai elemen masyarakat adalah belum diintegrasikan dalam satu jaringan penelitian yang efektif, sehingga masih banyak terjadi duplikasi dari kegiatan penelitian yang serupa. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya pemborosan sumber daya dan hasilnya kurang memiliki nilai implementatif atau sulit menjadi dasar operasional dan belum sepenuhnya mampu mendukung penyelenggaraan dan kebutuhan masyarakat.
Hasil temuan teknologi tepat guna bagi masyarakat bermanfaat dalam membantu kehidupan perekonomian, terutama bagi masyarakat yang bergerak di bidang industri yang bahan bakunya menggunakan bahan lokal. Berbagai temuan teknologi tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, ke depan tetap diupayakan peningkatan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas dalam temuan teknologi tepat guna yang dapat diterapkan di masyarakat.
Upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam bidang IPTEK melalui kerjasama penelitian dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian lainnya.

2.1.4 SARANA DAN PRASARANA
Kota semarang yang terletak di tengah-tengah jalur distribusi Jawa– Sumatera, pada satu sisi memiliki nilai yang strategis, tetapi pada sisi lain memiliki beban yang cukup berat, karena harus mampu menjaga bahkan meningkatkan peran dan fungsinya sebagai penopang jalur distribusi perekonomian nasional maupun sebagai aksesibilitas internal yang berfungsi sebagai penggerak utama (prime mover) perekonomian daerah.
Sarana dan prasarana wilayah (infrastruktur) terutama sarana prasarana perhubungan darat, khususnya jalan dan perkeretaapian kondisinya belum memadai. Jalur jalan Pantura empat lajur yang melewati Kota semarang selalu menghadapi masalah alam yaitu banjir dan rob. Sedangkan outter ringroad selatan sampai saat ini belum terbangun, sehingga belum mampu menjadi penyeimbang pertumbuhan wilayah serta belum mampu menjadi penopang jalur distribusai nasional. Jalur rel kereta api kondisinya masih memprihatinkan ditambah sistem pengelolaan yang belum memadai, sehingga belum menjadi sarana transportasi massal yang menjadi pilihan utama masyarakat. Kondisi tersebut antara lain ditunjukkan oleh panjang jalan yang dilihat dari status pengelolaannya menunjukkan adanya panjang yang relatif tetap, baik untuk jalan nasional, provinsi maupun jalan kota.
Pembangunan fasilitas umum merupakan salah satu upaya dalam pemenuhan kebutuhan akan infrastruktur kota yang menjadi tuntutan atau kebutuhan aktivitas masyarakat kota Semarang. Pemenuhan akan infrastruktur kota dilakukan melalui pemenuhan sarana dan prasarana jalan dan jembatan, drainase, dan penyediaan air baku.
Sarana dan prasarana perhubungan yang ada, selalu tertinggal dari tuntutan kebutuhan masyarakat yang tumbuh baik dalam artian jumlah maupun kualitas pelayanan yang dibutuhkan.


2.1.4.1 Perhubungan
Sistem jaringan jalan yang ada di Kota Semarang terdiri atas : arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder, lokal primer, lokal sekunder dan jalan lingkungan. Dari beberapa fungsi jalan yang ada di Kota Semarang tersebut, terdapat beberapa ruas jalan yang benar-benar mempunyai tingkat kepadatan dengan intensitas tinggi, yaitu jaringan jalan artei primer (pantura) yang banyak dilewati kendaraan dari arah Jakarta maupun kendaraan dalam Kota Semarang sendiri, jalan arteri primer yang menuju kearah Surakarta juga mempunyai kepadatan dengan intensitas tinggi, dan jalan-jalan dalam di pusat Kota Semarang yang mewadahi pergerakan masyarakat Semarang sebagai lokasi tujuan dari pergerakan.
Panjang jalan di seluruh wilayah Kota Semarang mencapai 2.762,261 Km. Adapun bila dilihat dari jenis permukaannya 52,12% sudah di aspal, sedangkan dari kondisinya 44,87% dalam keadaan baik; 32,48% dalam keadaan sedang, dan sisanya dalam keadaan rusak. Berdasarkan status kepemilikan jaringan jalan di Kota Semarang terbagi atas; Jalan Nasional 59,76 km, jalan Provinsi 28,89 km, dan jalan Kota 2.673,971 km.
Sistem jaringan jalan di wilayah Kota Semarang dilalui jalur utama yang menghubungkan wilayah-wilayah penting baik antar provinsi maupun didalam Provinsi Jawa Tengah. Kedudukan kota ini berpengaruh terhadap kepadatan lalu lintas yang melalui Kota Semarang.

Tabel 2.24
Status Jalan dan Kondisi Jalan di Kota Semarang Tahun 2005

Status Jalan Panjang (km) Kondisi
Baik Sedang Rusak
Negara 59,760 41,910 14,950 2,900
Provinsi 28,890 20,190 7,200 1,500
Kota/Lokal 2.673,971 1.177,379 875,278 621,314
Jumlah 2.762,621 1.239,479 897,428 625,714
Sumber: Kota Semarang dalam Angka




Tabel 2.25
Banyaknya Kendaraan Bermotor dan Trayek Angkutan
di Kota Semarang Tahun 2005
Jenis Kendaraan / Trayek Angkutan Jumlah
1. BUS
2. Truk
3. Colt, Taksi
4. Angkutan Kota
5. Mobil Pribadi
6. Sepeda Motor

Jenis Trayek
1. Trayek Utama
2. Trayek Ranting 530
732
1.320
708
20.682
93.073


49 buah
44 buah
Sumber : Semarang Dalam Angka

Sarana transportasi berkaitan erat dengan fasilitas-fasilitas yang menunjang sistem pergerakan ataupun sistem prasarana transportasi yang ada. Aspek yang terkait dengan sarana transportasi tersebut adalah terminal dan tempat-tempat pemberhen¬tian sementara. Sarana angkutan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu angkutan darat, angkutan laut dan angkutan udara.
Terminal Tipe A merupakan terminal yang melayani angkutan penumpang Antar Kota Antar Propinsi (AKAP), Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) dan Angkutan Kota/Angkutan Pedesaan (AK/AP). Terminal Kota Semarang yang masuk ke dalam kelas ini adalah Terminal Terboyo, dan Terminal Mangkang yang masih dalam proses pengembangan. Terminal bus Terboyo merupakan terminal utama Kota Semarang yang untuk Bus AKDP pada tahun 2005 yang masuk ke terminal ini rata-rata setiap bulannya adalah sebanyak 12,813 bus, Sedangkan untuk Bus AKAP sebanyak 2,408 bus tiap bulannya. Terminal tipe B merupakan terminal yang melayani angkutan penumpang antar kota dalam propinsi dan angkutan kota/ angkutan perdesaan (AK/AP) terminal yang masuk dalam kelas ini adalah terminal Penggaron. Terminal tipe C merupakan terminal yang melayani angkutan kota / perdesaan (AK/AP), terminal tipe C berada di Gunungpati dan Cangkiran. Selain terminal, fasilitas transportasi yang digunakan sebagai tempat pemberhentian akhir (stop station) namun tidak disediakan bangunan terminal antara lain: Pasar Johar, Perumnas Banyumanik, Perumnas Pucang Gading, Ngaliyan, PRPP, Sub Terminal Banyumanik, Pudakpayung, Rejomulyo, Pelabuhan Tanjung Mas, Rowosari, Kokrosono, Perumahan Bukit Kencana Jaya, RS. Elizabeth, Perumahan Pasadena, Puri Maerokoco, Perumahan Gedawang, Perumahan Plamongan Indah, Tinjomoyo, Komplek Industri Candi, Perumahan Payung Mas, Perumahan Kuasen Rejo.
Angkutan kota dalam antar propinsi (AKAP) yang masuk ke Kota Semarang sebanyak 199 armada, sedangkan angkutan kota dalam propinsi (AKDP) sebanyak 267 armada, dan angkotan kota (angkota) yang melayani pergerakan penumpang di dalam Kota Semarang sebanyak 2.992 armada yang terdiri dari angkutan mobil penumpang umum (MPU) sebanyak 2.322 armada (40 trayek), bus kota sebanyak 670 armada (37 trayek), dan taksi sebanyak 1.320 buah.
Kualitas moda angkutan umum yang ada saat ini cukup baik, akan tetapi beberapa dari angkutan tersebut belum memanfaatkan terminal sebagai tempat transit. Mereka masih memanfaatkan jalan raya sebagai tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Keberadaan Terminal Mangkang sebagai pusat aktivitas transportasi yang melayani trayek lokal Kota Semarang maupun trayek regional Jakarta- Semarang - Surabaya, yang merupakan area transit point dalam kaitannya dengan mobilitas penduduk dan pelayanan transportasi public. Perkembangan aktivitas utama di terminal ini juga memunculkan banyak aktivitas lain di dalamnya seperti PKL, kios-kios kecil, dan lain sebagainya.
Angkutan ini berfungsi menghubungkan beberapa kota dalam satu propinsi. Kota Semarang memiliki trayek angkutan yang mampu menjangkau 13 (tiga belas) kabupaten, yaitu Purwodadi, Surakarta, Karanganyar, Tegal, Purworjo, Pati, Rembang, Kudus, Jepara, Blora, Banyumas, Cilacap dan Wonogiri. Trayek terbanyak yang dilayani dari Kota Semarang adalah trayek yang menuju Banyumas sebanyak 4 trayek, sedangkan jumlah kendaraan terbanyak adalah yang melayani trayek Semarang-Solo sebanyak 248 armada.
Angkutan kota ini terbagi atas dua angkutan, yaitu angkutan dengan trayek tetap dan angkutan yang belum memiliki trayek tetap. Tryak angkuta kota terdapat 68 trayek dengan jumlah armada yang melayani sebanyak 399 armada. Selain angkutan kota jenis mikro bus, terdapat angkutan kota jenis bus kota yang memiliki trayek tetap. Angkutan kota dengan bus kota DAMRI melayani 4 (empat) trayek dalam kota yaitu Terboyo-Mangkang, Terboyo-Jatingaleh, Ngaliyan-Pucanggading dan Pasar Johar-Perumnas Banyumanik.
Keselamatan yang lebih dibandingkan dengan moda transportasi lain dan mampu menampung jumlah penumpang dengan kapasitas yang besar (public transport) menjadi keunggulan moda kereta api. Selain itu keunggulan lain yang berupa keefektifan waktu perjalan menjadi hal yang membedakan moda ini. Posisi Kota Semarang yang strategis dengan lokasinya yang berada di tengah-tengah pulau Jawa memberikan fungsi kota ini sebagai pusat tjuan perlintasan kereta api menuju ke berbagai kota di Pulau Jawa. Sehingga di pelayanan yang diberikan moda transportasi kereta api di kota ini terdiri atas berbagai pilihan tujuan.
Untuk sarana dalam pengoperasionalan kereta api, Kota Semarang memiliki dua stasiun utama, yaitu Stasiun Tawang dan Stasiun Poncol. Kedua stasiun ini memiliki kelas pelayanan yang berbeda, Stasiun Poncol difungsikan untuk memberikan pelayanan dengan kelas ekonomi, sedangkan Stasiun Tawang difungsikan untuk memberikan pelayanan kelas bisnis.
Angkutan laut juga merupakan sarana perhubungan yang cukup penting di Kota Semarang, Dari kunjungan kapal selama tahun 2005, banyaknya kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Emas sebanyak 3,092 kapal, dengan membawa barang yang diturunkan sebanyak 4,342,414 ton, sedangkan jumlah abrang yang dimuat adalah sebesar 2,141,161 ton.
Seperti halnya sistem transportasi jalan raya dan jalan rel, sistem tranportasi laut di Kota Semarang juga melayani arus angkutan penumpang dan barang. Arus penumpang yang dilayani yaitu penumpang regional, sedangkan arus barang yang dilayani terdiri atas 6 (enam) jenis pelayaran, yaitu samudera, nusantara, local, rakyat, non tanker dan non tanker, dengan pelabuhan Tanjung Mas sebagai simpul transportasi yang melayani pergerakan sistem transportasi laut. Pelabuhan Tanjung Emas merupakan pelabuhan samudera yang memiliki fasilitas tiga dermaga yaitu; Lapangan Peti Kemas, Lapangan Penumpukan dan Terminal.
Angkutan udara mulai dirasakan manfaatnya seiring dengan kemajuan pembangunan. Namun demikian, pada saat terjadinya krisis moneter peminatnya naik sebesar 30,88%. Arus lalu lintas pesawat udara pada tahun 2005 yang datang dan berangkat tercatat sebanyak 7,406 dan 7,405, bila dibandingkan dengan keadaan tahun sebelumnya mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0,58% dan 0,56%, sedangkan jumlah penumpang yang datang dan berangkat masing-masing sebanyak 702,383 orang dan 686,047 orang, yang mana mengalami kenaikan masing-masing sebesar 18,55% dan 21,87%.
Upaya yang dilakukan dalam bidang perhubungan melalui pengembangan sistem jaringan jalan dan transportasi, pengembangan moda angkutan masal dan pengembangan antar dan inter moda angkutan(darat, laut dan udara).


2.1.4.2. Perumahan dan Permukiman
Pembangunan perumahan dan fasilitas umum di Kota Semarang selama 10 tahun terakhir dilihat dari banyaknya rumah penduduk mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,71 % per tahun. Jumlah rumah pada tahun 1996 sebanyak 249.533 rumah menjadi 292.239 rumah pada tahun 2005. Dilihat dari kondisi rumah yang ada juga mengalami peningkatan dari tahun 1996 untuk kondisi Gedung permanen sebesar 65,46 %, Semi permanen sebesar 21,54 %, Papan/kayu 11,93 % dan bambu/lainnya 1,07 %, pada tahun 2005 untuk kondisi Gedung permanen sebesar 66,30 %, Semi permanen sebesar 21,99 %, Papan/kayu 10,93 % dan bambu/lainnya 0,77%.
Dari data tersebut kondisi rumah selama kurun waktu 10 tahun mengalami peningkatan baik jumlah maupun kondisi fisik rumah. Dilihat dari kebutuhan rumah di Kota Semarang mengalami peningkatan sebesar 2,62 %, pada tahun 1996 kebutuhan rumah penduduk dipenuhi sebesar 79,73 % dan pada tahun 2005 dapat dipenuhi sebesar 82,35 %. Pemenuhan kebutuhan akan perumahan selain dilakukan secara individu penduduk juga dilakukan oleh Perum Perumnas dan pengembang swasta lainnya.
Beberapa lokasi perumahan yang dibangun oleh Perum Perumnas dan KORPRI sebanyak 36 kawasan antara lain Perumnas Tlogosari, Banyumanik, Hanoman, Perum Korpri Tugurejo, Bangetayu Kulon, Bangetayu Wetan, Kalicari, Sendangguwo, Pedurungan Kidul, Bulusan, Tembalang, Srondol Wetan, Sambirejo, Gayamsari dan Pudak Payung. Sedangkan perumahan yang dibangun oleh Real Estate sebanyak 45 kawasan antara lain Taman Setyabudi, Bukit sari, Tanah Mas, Semarang Indah, Bukit Semarang Baru, Bukir Permata Hijau, Pasadena, Graha Estetika, Plamongan Hijau, Plamongan Indah, Sendangmulyo, Klipang , Tulus Harapan, Kekancan Mukti, Graha Mukti, Sinar Waluyo, Bumi Wanamukti, Bukit Kencana Jaya, Villa Aster, Bukit Permata Puri dan lain-lain. Adapun pengembang yang mengembangkan proyek perumahan di Kota Semarang antara lain PT. Adhi Karya, PT. Bukit Kencana Jaya, PT. Pembangunan Perumahan, PT. Kardeka Alam Lestari, PT. Graha Padma Internusa, PT. Kini Jaya indah, PT. Indo Perkasa Usahatama, PT. Semarang Indah, PT. Kekancan Mukti, PT. Tanah Mas, PT. Sindur Grahatama, PT. Putra Wahid Sejahtera.
Dari Perum Perumnas yang ada hanya beberapa yang telah menyerahkan fasilitas sosial dan fasilitas umumnya kepada Pemerintah Kota Semarang yakni Perumnas Tlogosari dan Banyumanik. Kondisi kualitas lingkungan perumahan permukiman juga mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya sarana dan prasarana lingkungan permukiman khususnya diwilayah pinggiran/perbatasan. Namun dari jumlah rumah di Kota Semarang masih ada sebagian masyarakat yang belum mempunyai tempat tinggal yang layak, penduduk kurang mampu tinggal dikawasan kumuh yang diperkirakan tersebar di 42 titik yaitu di Krasakan, Makam kobong, Tawang, Bandarharjo, Kebonharjo, Kampung Melayu, Tanjungmas, Dadapsari, Kuningan, Purwosari, Plombokan, Bulu Lor, Panggung Kidul, Panggung Lor, Tawang Mas, Karang Ayu, Banjir Kanal, Sleko, Sayangan, Purwodinatan, Pekojan, Bulu, Bojong Salaman, Kalisari, Lemah Gempal, Bubakan, Dargo, Peterongan, Pandean Lamper, Mangkang Kulon, Mangkang Wetan, Mangunharjo, Randugarut, Karanganyar, Tugurejo, Jrakah, Terboyo Kulon, Terboyo Wetan, Trimulyo, Genuksari, Tambakrejo, Sukorejo.
Upaya pemerintah Kota Semarang yang telah dilakukan dalam bidang perumahan dan permukiman melalui pemenuhan kebutuhan perumahan permukiman yang berkualitas dan layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mendorong peran kelembagaan perumahan dan permukiman, pemenuhan kebutuhan sarana prasarana dasar permukiman. Selain itu ada juga rumah sewa atau rumah susun sewa yang dikelola oleh Pemerintah Kota Semarang adalah Rusun Plamongansari, Rumah Sewa Karangroto, Rusun Karangroto, Rumah Sewa Gasemsari, Rusun Bandarharjo I, Rusun Bandarharjo II, Rusun Pekunden, dan Pondok Boro.

2.1.4.3. Sumber Daya Air

Wilayah Kota Semarang mengalir beberapa sungai yang tergolong besar, daerah Hulu dengan sendirinya merupakan daerah limpasan debit air dari sungai yang melintas dan mengakibatkan terjadinya banjir. Kondisi ini diperparah oleh karaktersitik wilayah dimana perbandingan panjang sungai dan perbedaan ketinggian (kontur) sangat curam sehingga curah hujan yang terjadi didaerah hulu akan sangat cepat mengalir ke daerah hilir.
Penanganan drainase Kota Semarang, terbagi atas dua karakteristik wilayah yaitu penanganan daerah atas dan penanganan daerah bawah. Penanganan daerah atas terbagi ke dalam beberapa pelayanan DAS, yaitu DAS Babon, DAS Banjir Kanal Timur, DAS Banjir Kanal Barat, DAS Silandak/Siangker, DAS Bringin, DAS Plumbon. Sementara pengelolaan drainase bagian bawah terbagi ke dalam empat sistem drainase, Sistem Drainase Semarang Timur, Sistem Drainase Semarang Tengah, sistem Drainase Semarang Barat, dan Sistem Drainase Semarang Tugu. Sampai dengan tahun 2005 daerah genangan banjir di Kota Semarang seluas 9.207 ha.
Air bersih, merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat dan fungsi perkotaan. Pemenuhan air bersih yang dipenuhi oleh PDAM baru mencakup 60 % atau sebesar 115.165 pelanggan yang didominasi oleh pelanggan non niaga atau rumah tangga. Meskipun demikian, pengguna rata-rata terbesar adalah instansi pemerintah, pelabuhan dan sejenisnya, serta industri, dengan rata-rata pemakaian di atas 1.500 m3.
Tabel 2.26
Jumlah Sumur Bor di Kota Semarang

No Tahun Jumlah Sumur Pengambilan m3/tahun
1 1990 300 23.000.000
2 1995 320 27.000.000
3 2000 1.050 38.000.000
4 2005 >1.500 45.000.000*)
*)Ket. : angka perkiraan

Sedangkan pemenuhan air bersih yang diluar cakupan PDAM pemenuhannya dicukupi melalui pembuatan sumur dangkal maupun sumur dalam serta dari air permukaan (sungai, danau). Permasalahan klasik yang dihadapi berkaitan dengan air bersih adalah masih rendahnya kinerja pelayanan air bersih, yaitu belum meratanya sistem jaringan air bersih dan masih minimnya kapasitas air bersih.
Upaya Pemerintah Kota Semarang dalam bidang sumber daya air dilakukan melalui pembangunan, pemeliharaan, dan peningkatan sarana prasarana sumber daya air, penguatan kelembagaan, pengelolaan kawasan hulu hilir secara terpadu.

2.1.4.4. Telekomunikasi
Perkembangan jaringan telekomunikasi beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan, terlihat dengan banyaknya satuan sambungan yang dipasarkan kepada masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan penyediaan jaringan telepon umum, dengan mekanisme pasar yang ada kemudian tumbuh usaha wartel di tiap lingkungan permukiman atau pusat-pusat kegiatan masyarakat. Sebenarnya jika dilihat dari tiap kecamatan yang ada di Kota Semarang maka jaringan telepon telah menjangkaunya, akan tetapi untuk lingkup yang lebih kecil seperti kelurahan yang ada di tiap kecamatan belum terjangkau.
Sambungan telepon di Kota Semarang sebanyak 66.361 sambungan, warung telekomunikasi (wartel) sebanyak 32.729 dan tempat tinggal sebanyak 133.857 unit.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa prasarana telekomunikasi telah merata diseluruh kecamatan yang ada di Kota Semarang. Setiap kecamatan dapat mengakses komunikasi dengan mudah lewat pos, radio, televisi atupun telepon baik itu telepon rumah atau telepon seluler yang saat ini sedang menjadi trend di kalangan masyarakat.
Upaya pemerintah Kota Semarang yang dilakukan dalam bidang telekomunikasi melalui pengaturan, pengendalian dan kemudahan dalam usaha telekomunikasi.

2.1.4.5. Energi
Jumlah pelanggan listrik PLN sampai dengan pada tahun 2005 di Kota Semarang tercatat sebanyak 313.784 pelanggan, yang didominasi oleh pelanggan rumah tangga, dengan rata-rata pemakaian daya pelanggan sebesar 746.691.304 Kwh. Bila dilihat secara rinci, pemakai dengan konsumsi listrik terbesar adalah rumah tangga sejumlah 274.708.600 kwh dan industry sejumlah 228.805.900 kwh.
Jangkauan pelayanan listrik sudah menjangkau pada seluruh wilayah kota Semarang namun belum semua bangunan rumah tangga menjadi pelanggan listrik PLN, hal ini dapat dilihat dari jumlah bangunan rumah tangga sebanyak 292.239 buah, sedangkan yang menjadi pelanggan rumah tangga sejumlah 282.479 pelanggan.
Upaya yang dilakukan pemerintah Kota Semarang dalam bidang energi adalah koordinasi penambahan kapasitas produksi energi kelistrikan dan perluasan jaringan sampai keseluruh wilayah kota serta kebijakan efisiensi pemakaian daya listrik.



2.1.5 POLITIK DAN TATA PEMERINTAHAN
Terjadinya krisis ekonomi sejak awal Mei 1997 berlanjut menjadi krisis multidimensi secara akumulatif menimbulkan desakan kuat pada tuntutan reformasi. Reformasi politik nasional yang menemukan momentum di tahun 1998, secara monumental diwujudkan dalam pemilu tahun 1999 dan pemilu legislatif serta pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004, melalui dua kali perubahan lima undang-undang politik. Dalam penyelenggaraan pemerintahan juga terus dilakukan pembenahan ditandai dengan terbitnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 serta berbagai peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan. Tingginya dinamika politik dan perlunya konsolidasi dan sinkronisasi ketentuan normatif maka lahirlah Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengganti undang-undang sebelumya.
Partisipasi masyarakat dalam mengikuti pesta demokrasi pemilu tahun 2004 menunjukkan prosentase diatas rata-rata tingkat nasional. Pada Pemilu Legislatif tahun 2004 jumlah pemilih yang menggunakan haknya mencapai 83,28 persen, pada Pemilu Presiden Putaran I sebesar 78,70 persen, dan pada Pemilu Presiden Putaran II sebesar 78,70 persen.
Penurunan peserta pemilu tersebut bukan dikarenakan banyaknya pemilih yang Golput, tetapi disebabkan adanya Pemilih yang menggunakan haknya diluar kota Semarang, dan pada Pilkada Kota Semarang tahun 2005 jumlah pemilih sebanyak 997.200 pemilih dan yang menggunakan hak pilihnya sebesar 664.897 pemilih atau 66,68 %.
Partisipasi dan kesadaran politik masyarakat masih perlu mendapatkan perhatian terutama menyangkut hak dan kewajiban warga negara serta institusionalisasi partai politik dalam kegiatan politik. Demikian pula terkait dengan pengetahuan dan kesadaran politik bagi masyarakat perdesaan, kaum perempuan dan pemilih pemula.
Sedangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi perubahan yang sangat signifikan sejak bergulirnya reformasi. Otonomi daerah menjadi salah satu icon penyelenggaraan pemerintahan. Namun demikian banyak peraturan pelaksanaannya yang belum konsisten dan cenderung saling tumpang tindih. Hal ini mempengaruhi jalannya tata pemerintahan di daerah.
Upaya pemerintah Kota Semarang yang telah dilakukan melalui penataan struktur organisasi perangkat daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, peningkatan kualitas SDM aparatur, fasilitasi kegiatan politik, dan peningkatan kesadaran berpolitik masyarakat.

2.1.6. KEAMANAN DAN KETERTIBAN
Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Kota Semarang menyimpan berbagai potensi gangguan keamanan, ketentraman dan ketertiban yang diakibatkan oleh kondisi sosial di Kota Semarang. Oleh karena itu pembangunan harus mampu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bela negara dan berbagai gangguan kamtibmas yang mungkin terjadi; mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mengetahui, memahami dan mentaati berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan mampu menjawab tantangan untuk dapat meningkatkan stabilitas politik dan kesadaran politik masyarakat dalam kegiatan pemerintahan maupun pembangunan sesuai dengan tuntutan demokratisasi dan transparansi pemerintahan dalam mewujudkan good government dan good governance, sehingga kegiatan pemerintahan dan pembangunan dapat berjalan.
Kondisi pembangunan keamanan dan ketertiban merupakan salah satu prasyarat keberhasilan pelaksanaan pembangunan di Kota Semarang, implikasi dari pelaksanaan pembangunan ini adalah rendahnya tingkat kriminalitas dan rendahnya tingkat pelanggaran terhadap Peraturan Daerah.
Ketertiban dan keamanan masyarakat sebagai salah satu prasyarat utama untuk keberhasilan pelaksanaan pembangunan, pada era reformasi cenderung terjadi peningkatan gangguan kriminalitas sebagai akibat tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan faktor ekonomi lainnya. Hal ini terlihat pada jumlah kriminalitas di kota Semarang pada tahun 2005 tercatat sebanyak 268 kasus yang terdiri dari kasus pertikaian antar warga, kasus pertikaian antar wilayah/kampung, pertikaian antar pelajar, kasus unjuk rasa yang berkaitan dengan bidang politik dan bidang ekonomi dan kasus pemogokan kerja.
Pembangunan di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat telah dapat diwujudkan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas.


Tabel 2.27
KEKUATAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT (LINMA)
KOTA SEMARANG TAHUN 2000 – 2005



Keberhasilan pembangunan di bidang tersebut dirasakan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Rasa aman yang dirasakan masyarakat tidak terlepas dari upaya yang telah dilakukan pemerintah melalui berbagai sistem keamanan.
Upaya pemerintah Kota Semarang dalam bidang keamanan dan ketertiban telah dilakukan melalui koordinasi antar instansi dan masyarakat, fasilitasi sarana dan prasarana keamanan lingkungan, dan penegakan peraturan perundang-undangan.

2.1.7. HUKUM DAN APARATUR
2.1.7.1 Hukum
Dalam era otonomi daerah selama sepuluh tahun terakhir telah ditetapkan 362 Peraturan Daerah, 6.037 Keputusan Walikota maupun Keputusan DPRD. Dari 85 Perda 46 buah merupakan Peraturan Daerah baru dan 39 buah merupakan revisi Peraturan Daerah lama yang tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Pembangunan hukum dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Masyarakat diharapkan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sekaligus memiliki hak dan kewajiban dan persamaan perlakukan dalam masalah hukum. Hal ini sejalan dengan semangat UUD 45 yang menyebutkan Indonesia adalah negara hukum sehingga persamaan dan kepastian hukum menjadi panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Upaya dalam bidang hukum telah dilakukan melalui sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pengembangan jaringan dokumentasi hukum.

2.1.7.2 Aparatur
Penyelenggaraan pemerintahan sangat ditentukan keberhasilannya oleh institusi birokrasi pemerintah. Kota Semarang Sebelum era otonomi daerah, pembentukan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah sangat diwarnai dengan nuansa sentralistik, dimana semuanya ditentukan oleh Pusat. Setelah tahun 2000 kelembagaan pemerintah daerah semakin memperhatikan nuansa lokal. Kondisi dilematis tersebut semakin nampak ketika daerah diberi kebebasan untuk menentukan jenis dan jumlah unit organisasi berdasarkan kemampuan, kebutuhan dan beban kerja sebagaimana dimaksud PP. No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Organisasi dan Perangkat Kerja Perangkat Daerah.
Secara faktual kombinasi pertimbangan manajerial dan non manajerial dalam penempatan aparatur sulit dielakkan. Hal ini semakin mencolok ketika muncul PP. No. 8 Tahun 2003 sebagai revisi PP. No. 84 Tahun 2000 dimana didalamnya memberi banyak pembatasan terhadap jumlah dan jenis unit organisasi. Terjadinya perubahan dari UU. No. 22 Tahun 1999 ke UU. No. 32 Tahun 2004 membuka harapan baru bagi daerah dalam mengatasi situasi dilematis. Sampai dengan tahun 2005 jumlah perangkat daerah terdiri Sekretaris Daerah dan 3 asissten dengan dibantu 8 Bagian, 1 Sekretariat DPRD, 6 badan, 4 kantor, 17 dinas, 16 Kantor Kecamatan dan 177 kantor kelurahan.
Kinerja pemerintah daerah dalam pelayanan kepada masyarakat menunjukkan adanya banyak kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti ; diskriminasi pelayanan, tumpang tindih perijinan, prosedur yang berbelit maupun keterbatasan cakupan layanan. Setelah era reformasi, penyelenggaraan pelayanan umum semakin mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan.
Beberapa langkah perubahan yang dilakukan dalam rangka peningkatan pelayanan umum antara lain: pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT), Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5), aplikasi Standar Pelayanan Minimal melalui Bulan Layanan Publik pada tahun 2003, dan pada tahun 2004 ditingkatkan menjadi Tahun Peningkatan Pelayanan Publik; dimana disertai dengan pengadaan sarana pengaduan dan hot line service dengan memanfaatkan teknologi dan informasi.
Sebelum era otonomi daerah aparatur pemerintah diposisikan sebagai salah satu pilar kekuasaan politik. Hal ini menyebabkan aparatur pemerintah berada dalam posisi yang tidak netral, kurang profesional dan kurang mempertimbangan aspek kompetensi, sehingga menimbulkan dampak inefisiensi, ketidaksesuaian antara struktur organisasi dengan jumlah pegawai, kualitas aparatur dan beban kerja. Jumlah aparatur Pemerintah Kota Semarang sebelum otonomi sebanyak 5.852 pegawai.
Dengan berlakunya otonomi daerah terdapat pelimpahan pegawai dari instansi vertikal sampai dengan tahun 2005 jumlah pegawai sebanyak 15.043 Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 2.653 Tenaga Pegawai Harian Lepas (TPHL). Dari sisi tingkat pendidikan pegawai 737 orang (4,93%) berpendidikan SD, 703 orang (4,68%) berpendidikan SLP, 5.435 orang (36,23%) berpendidikan SLTA, 3.962 orang (26,42 %) berpendidikan D-I/D-II/D-III, 3.940 orang (26,21%) berpendidikan S1, 233 orang (1,53 %) berpendidikan S2 dan 1 orang (0,0%) berpendidikan S3. Pada satu sisi jumlah pegawai yang besar tersebut merupakan aset namun pada sisi lain apabila tidak dapat dioptimalkan akan merupakan beban bagi pemerintah daerah.

Tabel 2.28
Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pemerintah Kota Semarang Tahun 2001 - 2005

No. Tingkat Pendidikan 2001 2002 2003 2004 2005
1 SD 987 952 891 848 741
2 SLTP 790 828 772 773 704
3 SLTA 6.125 6.281 5.895 6.012 5.451
4 Diploma (D1,D2 danD3) 3.796 3.866 3.700 3.735 3.974
5 S1 3.885 3.865 3.830 3.938 3.943
6 S2 154 153 151 157 230
7 S3 - - - - 1
JUMLAH 15.737 15.945 15.239 15.463 15.043
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang

Upaya yang telah dilakukan melalui peningkatan SDM aparatur, peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan aparatur serta pengembangan pegawai.

2.1.8. WILAYAH, TATA RUANG DAN PERTANAHAN
Kerja sama sinergitas pengelolaan potensi merupakan tantangan pembangunan perwilayahan ke depan yang secara konsisten terus dilaksanakan. Hal tersebut mengingat semakin terbatasnya sumber daya alam dan adanya arus perdagangan bebas yang semakin kuat sehingga kawasan strategis perlu didorong dan diperkuat eksistensinya.
Meningkatnya dinamika dan aktivitas penduduk sejalan dengan semakin mantapnya pelaksanaan otonomi daerah, pengaruh arus perdagangan bebas, dan penurunan kualitas sumber daya alam. Dalam kondisi seperti ini ruang akan menjadi komoditi yang sangat strategis. Untuk itu, pelaksanaan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan yang diimbangi dengan konsistensi dan komitmen dalam pengendalian serta penegakan hukum merupakan tantangan ke depan yang harus dihadapi dan dipersiapkan bersama dengan seluruh stakeholders.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan ruang, maka kebutuhan akan lahan juga meningkat pula, sehingga tantangan yang dihadapi pada bidang pertanahan adalah peningkatan pelayanan administrasi pertanahan yang berpihak pada kepentingan masyarakat yang telah mulai dirintis saat ini melalui sistem manajemen pertanahan berbasis masyarakat.
2.1.8.1 Wilayah
Kota Semarang terbagi dalam 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Pertumbuhan masing-masing kecamatan relatif lambat dibanding dengan kecepatan perkembangan dinamika kebutuhan pelayanan kepada masyarakat, terutama permasalahan infrastruktur dan penyediaan lapangan pekerjaan. Upaya peningkatan daya jual, daya saing, dan daya dukung potensi wilayah Kota semarang dalam konteks wilayah dilakukan dengan pendekatan pembangunan kawasan strategis dengan operasionalnya melalui kerja sama pembangunan wilayah/kawasan antar kabupaten/kota mendasarkan pada kerjasama kawasan yang telah ditetapkan RTRW Kota Semarang.
Beberapa kawasan kerja sama strategis telah mulai terbentuk dan operasional antara lain, Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Salatiga dan Purwodadi). Kerjasama kawasan pembangunan tersebut dimaksudkan untuk mensinergikan pembangunan agar antar wilayah dapat saling berinteraksi secara harmonis dalam kerangka Kota Semarang dengan kawasan hinterlandnya. Sekaligus kerjasama pembangunan kawasan ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak disparitas pembangunan kawasan dan urbanisasi.
Upaya yang telah dilakukan adalah peningkatan keserasian dan kelestarian sesuai dengan potensi dan daya dukung wilayah, pengembangan struktur pola ruang kota dengan mempertimbangkan fungsi nasional, regional dan kota.

2.1.8.2 Tata Ruang
Tata Ruang wilayah Kota Semarang sebagai bagian dari tata ruang wilayah nasional merupakan satu kesatuan ruang wilayah NKRI, meliputi ruang darat, laut, dan udara, termasuk di dalam bumi maupun sebagai sumber daya yang harus dikelola secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna secara berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial sesuai UUD’45.
Pada tahun 1981 telah ditetapkan Perda No. 5 Tahun 1981 tentang Rencana Induk Kota Semarang Tahun 1975 – 2000 yang direvisi dengan Perda No. 2 Tahun 1990. Kemudian menyesuaikan dengan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang telah ditetapkan Perda No. 01 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 1995 – 2005 yang kemudian direvisi dengan Perda No. 5 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2000 – 2010. Pada tingkatan alokasi zonasi fungsi mendetailkan RTRW tersebut telah ditetapkan Perda No. 6 sampai 15 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota BWK (Bagian Wilayah Kota) I sampai X tahun 2000 – 2010. Permasalahan yang dihadapi dalam penataan ruang adalah pemanfaatan dan pengendalian tata ruang yang tidak konsisten dan belum adanya kesepahaman serta komitmen antar pelaku pembangunan dalam pengelolaan tata ruang.
Tabel 2.29
Penggunaan Lahan Kota Semarang 2000-2005



Tabel 2.30
Areal Lahan Sawah di Kota Semarang 2001-2005


Kota Semarang memiliki lahan seluas 373,70 km2, Dari keseluruhan lahan yang ada terdiri atas lahan yang berupa lahan sawah seluas 39,563 km2 dan lahan kering yang seluas 334,14 km2. Berdasarkan luas wilayahnya, kecamatan Mijen yaitu sebesar 6,218,24 km2, dengan spesifikasi memiliki luas lahan sawah 1008 km2 atau sekitar 25,25% dari luas total lahan sawah di Kota Semarang, dan luas lahan bukan sawah sebesar 5.210,24 km2 atau sekitar 15,61% dari total lahan bukan sawah di Kota Semarang. Dari persentase di atas, diketahui bahwa kecamatan Gajahmungkur, Semarang Selatan, Candisari, Semarang Timur, Semarang Utara dan Semarang Tengah pemanfaatan lahannya hanya berupa lahan non-sawah. Selain itu, dapat diketahui pula bahwa kecamatan yang memiliki luas lahan sawah paling besar yaitu kecamatan Gunungpati yaitu sebesar 1,386 Km2 atau sebesar 34,72 % dari total lahan sawah di Kota Semarang.
Penggunaan lahan sawah di Kota Semarang meliputi irigasi teknis (22,6 Km2), setengah teknis (57,094 Km2), irigasi sederhana/irigasi desa (99,148 km2), non PU (99,148 Km2), tadah hujan (210,188 Km2), dan yang tidak diusahakan (0,5 Km2). Disamping penggunaan lahan sawah, penggunaan lahan di Kota Semarang yang lain meliputi pekarangan, tegal/kebun, tambak/kolam, rawa, padang/rumputan, dan penggunaan lain.
Secara keseluruhan kecenderungan penggunaan lahan non-sawah di Kota Semarang yang terbesar yaitu pekarangan (37,59%), ladang (19, 45%), lainnya (19,99%), kolam (0,17%), tegal (4,5%), tambak (4,35%), perkebunan (3,16%), dan beberapa jenis penggunaan lainnya dengan prosentase yang kecil.
Kecamatan Mijen memiliki luas lahan non-sawah paling luas dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kota Semarang dengan luas wilayah 5,980,54 Km2 dengan spesifikasi perkebunan (1116 Km2), tegalan (939 Km2), ladang (890 Km2), pekarangan (823 Km2), lainnya (627,74 Km2) dan kolam (4,5 Km2). Sedangkan kecamatan yang memiliki luas lahan non-sawah paling kecil yaitu kecamatan Semarang Tengah dengan luas 605 Km2, dengan spesifikasi pekarangan (527,55 Km2), lainnya (66,53 Km2), ladang (5,48 Km2), tidak diusahakan (5,44 Km2).
Tabel 2.31
Areal Lahan Kering di Kota Semarang Tahun 2005


Upaya yang telah dilakukan melalui perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang, pembentukan kelembagaan penataan pengembangan tata ruang, koordinasi dan fasilitasi serta advokasi tata ruang.

2.1.8.3 Pertanahan
Bidang pertanahan yang merupakan salah satu sumber daya alam yang harus dijaga dan ditata karena mempunyai nilai strategis dalam tatanan kehidupan manusia bersosial dan bernegara, terutama dalam kaitannya dengan fungsi pemanfaatannya, baik fungsi lindung maupun budi daya sesuai RTRW. Pembangunan pertanahan dilakukan demi terciptanya tertib administrasi pertanahan dan kepastian hak atas tanah sehingga menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Sampai dengan tahun 2005 dengan jumlah bidang tanah sebanyak 760.539 bidang yang terdiri dari 590. 472 bidang sudah bersertifikat, sisanya sebanyak 170.067 belum bersertifikat. Sedangkan kepemilikan tanah Pemerintah Kota Semarang yang terinvetarisir sebanyak 3.159 bidang, dimana tanah yang sudah bersertifikat sebanyak 870 bidang sedangkan sisanya sebanyak 1.359 bidang belum bersertifikat.

Upaya yang telah dilaksanakan adalah sosialisasi kepemilikan hak atas tanah, fasilitasi dan advokasi pemanfaatan lahan maupun permasalahan konflik pertanahan.


2.1.9 SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Kondisi lingkungan Kota Semarang telah mengalami penurunan kualitas, angka pasang surut dari tahun 1991 setinggi 0,87 m, menjadi 0,97 m pada tahun 1994 (laporan dari JICA – Japan International Corporation Agency, 1994). Kenaikan tinggi pasang surut ini berdampak pada rob di kawasan Semarang Utara dan Semarang Tengah dan Genuk. Kawasan pantai yang terkena rob khususnya di Kecamatan Semarang Utara dan Semarang Tengah dipengaruhi oleh adanya penurunan muka tanah dengan laju 2 – 8 cm/tahun(Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan), seperti misalnya di Kelurahan Panggung Lor, Panggung Kidul, kawasan Tawang/Kota Lama sampai ke kawasan Tanjung Mas.
Banjir yang terjadi di Kota Semarang merupakan tradisi tahunan yang pada umumnya disebabkan tidak terkendalinya aliran sungai, akibat kenaikan debit, pendangkalan dasar badan sungai dan penyempitan sungai karena sedimentasi, adanya kerusakan lingkungan pada daerah hulu (wilayah atas kota Semarang) atau daerah tangkapan air (recharge area) serta diakibatkan pula oleh ketidakseimbangan input – output pada saluran drainase kota. Cakupan banjir saat ini telah meluas di beberapa kawasan di Kota Semarang, yang mencakup sekitar muara Kali Plumbon, Kali Siangker sekitar Bandara Achmad Yani, Karangayu, Krobokan, Bandarharjo, sepanjang jalan di Mangkang, kawasan Tugu Muda – Simpang Lima sampai Kali Semarang, di Genuk dari Kaligawe sampai perbatasan Demak.
Intrusi air laut telah masuk kedaratan menjorok sampai wilayah, Tugu, Jalan Sudirman, Jalan Pandaran, kawasan Simpang Lima, Jalan Majapahit, Pedurungan dan Kawasan Genuk, kurang lebih sejauh 6 km dari garis pantai. Penyebab intrusi air laut di Kota Semarang disebabkan adanya penyedotan air bawah tanah yang berlebihan dan tidak terkendali serta karena kerusakan lingkungan kawasan pesisir, hal ini berdampak pada penurunan kualitas air tanah. Salah satu cara untuk mencegah meluasnya proses intrusi air laut ke dalam air tanah adalah dengan pengendalian dan pengawasan serta perlindungan air bawah tanah secara khusus dan intensif.
Kerusakan lingkungan lahan di Kota Semarang terutama diakibatkan oleh penambahan bahan galian golongan C (tanah, pasir dan batu) yang terus meningkat dan kurang terkontrol serta penutupan permukaan lahan yang melebihi daya dukungnya. Penambangan yang dilakukan dengan cara penggalian tanah, pengupasan muka tanah, pengeprasan bukit tersebut telah menimbulkan dampak rusaknya lahan penurunan muka air tanah, sedimentasi sungai, banjir dan rusaknya pemandangan alam perbukitan. Sampai dengan tahun 2005 beberapa kawasan di Kota Semarang telah terjadi kerusakan lahan sebagai akibat penambangan galian golongan C yang tidak terkontrol, seperti di kawasan Ngaliyan, kawasan Sampangan, Kedungmundu dan kawasan Tembalang.
Konsekuensi dari berbagai aktifitas penduduk salah satunya adalah masalah persampahan. Berdasarkan data “Book Municipal Solid Waste Management In Asian Cities”. United Nation Centre for Regional Development ( UNCRD) tahun 1999 dapat diketahui bahwa dengan jumlah penduduk sekitar 1.290.159 jiwa telah menghasilkan produk sampah kota sekitar 226.276 ton/tahun. Dari produk sampah yang dihasilkan tersebut, jumlah sampah yang terkelola dengan baik hanya mencapai sekitar 48 % (SSUDP). Pada tahun 2005 dengan jumlah penduduk sekitar 1,4 juta jiwa, total produksi sampah di Kota Semarang adalah 4500 m3/hari atau 1,7 juta m3/tahun. Cakupan pelayanan pengelolaan sampah di Kota Semarang pada tahun 2005 sekitar 75%, sampah dikumpulkan mulai dari sumber, kemudian diangkut dan di buang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
Sedangkan sisanya dikelola oleh masyarakat dengan sistem pengolahan yang bermacam-macam, seperti penimbunan di pekarangan, dibakar, dan sebagian kecil ada yang dibuang ke sungai. Proses pengelolaan persampahan yang ada, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: membuang sampah dalam tong sampah, proses pengumpulan dengan gerobak atau door to door dengan dump truck, kemudian diangkut dan di buang ke TPA di Mijen. Tahapan yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbulan sampah yang terjadi adalah dengan daur ulang dan pengomposan. Kegiatan daur ulang dapat dilakukan mulai dari sumber sampah di rumah tangga (skala kecil), pada saat kegiatan pengumpulan dan pemindahan, serta di TPA.
Dalam pelayanan sampah sampai dengan tahun 2005 tersedia container sampah sejumlah 389 buah yang tersebar di 132 kelurahan sebanyak 340 buah, pasar-pasar sebanyak 49 buah.
Dari berbagai sarana transportasi, kendaraan bermotor berpotensi sebagai kontributor utama menurunnya kualitas udara. Kondisi udara Kota Semarang dari pantauan alat ISPU di Kecamatan Tugu, Kecamatan Pedurungan dan Kecamatan Banyumanik sampai bulan Agustus 2000 menunjukkan angka 51 – 100 ppm, ini menunjukkan kualitas udara pada kategori Sedang mendekati Jelek (Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 45 tahun 1997). Sedangkan kadar polusi debu di beberapa ruas jalan utama Kota Semarang telah melewati ambang batas Baku Mutu Lingkungan yang ditetapkan (Hasil penelitian Puspedal Bapedalda, 1994/1995 – 1996/1997).
Pertamanan dan ruang terbuka hijau disamping merupakan fungsi keindahan, juga berfungsi sebagai ruang interaksi masyarakat, sarana olah raga, dan paru-paru kota. Kesadaran Pemerintah Kota Semarang dalam pengadaan dan pengelolaan ruang terbuka hijau ditunjukkan pada alokasi lahan pemanfaatan ruang hijau di dalam RTRW yang cukup dominan. Ada dinas yang selalu melakukan pemantauan perihal penghijauan tersebut yaitu Dinas Pertamanan dan Pemakaman serta Dinas Pertanian. Di pusat Kota Semarang, hijau kota terdapat pada: kebun-kebun pribadi, 147 taman yang dikelola dinas pertamanan dan dari penghijauan/pohon di pinggir jalan. Pohon-pohon di pinggir jalan membuat kesan Kota Semarang masih cukup hijau. Namun, belum terdapat taman yang cukup luas untuk sarana rekreasi, hanya ada satu taman aktif yang mendekati luasan 1 hektar, yaitu Taman Menteri Supono (selain 2 taman pasif, yaitu Taman Median Sukarno-Hatta (1,4 ha) dan Taman Yos Sudarso (1,2 ha)).
Mangrove merupakan ekosistem khas pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut serta kadar garam yang ada. Memperhatikan betapa pentingnya peranan hutan mangrove dalam ekosistem pantai, selain berfungsi sebagai penyedia unsur hara juga sebagai pelindung pantai, mestinya keberadaan hutan tersebut harus diperhatikan, minimal lebar 100 m di sempadan pantai, sungai dan muara. Namun dengan banyaknya kepentingan berbagai pihak keberadaan mangrove khususnya di wilayah pantai Kota Semarang kondisinya sangat memprihatinkan. Berdasarkan data yang ada, dari 15 hektar luas mangrove ± 72,33% mangrove di wilayah Kota Semarang dalam kondisi kritis dan hanya 26,67% yang masuk dalam kondisi baik, padahal luas mangrove yang ideal untuk wilayah pantai Kota Semarang seluas ± 325 hektar.
Upaya yang telah dilakukan dilakukan meliputi konservasi dan rehabilitasi, peningkatan sarana prasarana lingkungan, pemberdayaan masyarakat, pengutan kelembagaan serta pengendalian lingkungan.
2.2. TANTANGAN
Banyak kemajuan yang telah dicapai tetapi banyak pula tantangan atau masalah ke depan yang belum sepenuhnya terselesaikan. Perlu upaya-upaya penanganan dalam pembangunan daerah 20 tahun ke depan, baik bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), politik, keamanan dan ketertiban, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup.
2.2.1. SOSIAL, BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA
2.2.1.1 Kependudukan dan Keluarga Berencana
Diprediksikan tahun 2025 jumlah penduduk di Kota Semarang meningkat menjadi sekitar 2,5 juta jiwa. Prediksi tersebut merupakan jumlah penduduk malam hari, sedangkan siang hari akan mencapai 2 kali lipat sebagai konsekuensi kota Metropolitan. Tantangan Pembangunan kependudukan dan sumber daya manusia dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang adalah pengendalian tingkat pertumbuhan penduduk, kualitas penduduk, urbanisasi dan persebaran penduduk. Untuk itu diperlukan pengelolaan yang benar tentang kependudukan yang mencakup pelayanan, administrasi kependudukan, pengelolaan keluarga berencana dan pemerataan penyebaran penduduk yang sesuai dengan daya dukung lingkungan.
2.2.1.2 Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
Dalam bidang ketenagakerjaan tantangan yang dihadapi adalah menyeimbangkan antara pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan ketersediaan kesempatan kerja dalam rangka mengurangi jumlah pengangguran.
2.2.1.3 Pendidikan
Tantangan di bidang pendidikan mencakup aksesibilitas, pemerataan, peningkatan mutu pelayanan dan relevansi pendidikan dengan kebutuhan disamping peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan pendidik dan tenaga pendidikan serta kecukupan sarana prasarana pendidikan.
2.2.1.4 Perpustakaan
Kemajuan teknologi informasi akan berpengaruh pada perubahan perilaku membaca masyarakat. Tantangan 20 tahun yang akan datang adalah pengembangan perpustakaan berbasis teknologi informatika.
2.2.1.5 Kesehatan
Seiring dengan semakin membaik tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, tantangan pembangunan bidang kesehatan yang dihadapi adalah perubahan pola perilaku dan kualitas lingkungan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit degenaratif maupun penyakit menular. Disamping itu tantangan lainnya adalah permintaan akan pelayanan kesehatan yang mudah, berkualitas namun terjangkau. Pelayanan kesehatan yang prima sangat identik dengan tersedianya tenaga kesehatan yang profesional, peralatan dan fasilitas kesehatan yang canggih dan representatif sejalan dengan kemajuan IPTEK.
2.2.1.6 Pemuda dan Olahraga
Tantangan Pembangunan di bidang kepemudaan dan keolahragaan adalah meningkatnya tingkat partisipasi pemuda dalam pembangunan dan semangat kebangsaan, bertambahnya sarana prasarana olah raga serta meningkatnya tingkat prestasi olah raga yang mendukung supremasi olah raga baik tingkat regional, nasional maupun internasional.
2.2.1.7 Kesejahteraan sosial
Tantangan bidang kesejahteraan sosial adalah sinergitas penanggulangan masalah penyandang masalah kesejahteraan Sosial (PMKS) yang sistematis, berkelanjutan dan bermartabat baik yang berada di dalam maupun diluar panti.
2.2.1.8 Kemiskinan
Tantangan yang dihadapi antara lain yaitu perbedaan pemahaman terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin, keberpihakan dalam perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada warga miskin (pro poor), meningkatnya sinergi dan koordinasi berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, serta meningkatnya partisipasi dan terbatasnya akses masyarakat miskin.
2.2.1.9 Kebudayaan
Di bidang kebudayaan, tantangan ke depan yang dihadapi adalah menipisnya nilai moral, budaya, dan agama, sebagai akibat dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, serta ekses dari ketimpangan kondisi sosial ekonomi serta pengaruh globalisasi. Tantangan lain di bidang sosial budaya yang tak dapat dikesampingkan adalah pemeliharaan kearifan lokal dalam peradaban, harkat dan martabat manusia, serta penguatan jatidiri dan kepribadian masyarakat. Lemahnya penghargaan dan hukuman pada upaya-upaya pelestarian bangunan kuno dan cagar budaya.
(pelestarian bangunan kuno dan cagar budaya)

2.2.1.10 Agama
Dibidang kehidupan beragama tantangan yang dihadapi adalah mewujudkan ajaran agama yang mampu menjadi sumber inspirasi dan ajaran moral untuk menggerakkan masyarakat dalam membangun, serta mewujudkan kerukunan antar dan intern umat beragama.
2.2.1.11 Perempuan dan Anak
Pembangunan pemberdayaan perempuan masih dihadapkan pada ketimpangan keadilan gender di berbagai bidang, utamanya pada akses di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan ekonomi. Pada sisi lain tantangan lainnya adalah rendahnya indeks pembangunan gender, meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, eksploitasi perdagangan orang dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak, serta kurang terpenuhinya hak-¬hak dasar, kesejahteraan dan perlindungan anak.


2.2.2. EKONOMI
Pembangunan berbasis kewilayahan yang telah dilaksanakan selama ini telah dapat mendorong kerja sama pembangunan antar daerah secara sinergis, sehingga dapat mendorong daya saing wilayah. Tantangan pembangunan kewilayahan ke depan adalah meningkatnya kesenjangan pembangunan antardaerah akibat bervariasinya dan terbatasnya potensi sumber daya alam, dan sumber-sumber pendapatan daerah sehingga diupayakan pengembangan berbagai potensi daerah termasuk pengembangan sumber energi alternatif.
2.2.2.1 Kondisi dan Struktur ekonomi
Pembangunan ekonomi Kota Semarang sampai saat ini telah menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan, namun masih belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan lapangan pekerjaan secara memadai. Oleh karena itu, tantangan pembangunan ekonomi pada dua puluh tahun ke depan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas struktur ekonomi bertumpu pada perdagangan dan jasa didukung oleh sektor-sektor prioritas sesuai potensi yang ada sehingga mampu meningkatkan pendapatan perkapita dan secara bertahap kesejahteraan masyarakat.
2.2.2.2 Industri
Tantangan perindustrian terutama mempertahankan lapangan kerja, industri yang ramah lingkungan, industri yang dapat memproduksi barang yang kompetitif dipasar regional, nasional maupun global, serta terbangunnya industri kreatif, berbahan baku lokal yang mampu bersaing dengan produk daerah lain dan dapat diterima pasar.
2.2.2.3 Koperasi dan UKM
Pada kondisi perekonomian global koperasi dan UKM dituntut untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan yang mampu bersaing dengan pemilik modal besar.
2.2.2.4 Investasi
Tantangan pada investasi adalah peningkatan daya tarik daerah untuk menarik minat investor yang saling menguntungkan dan dapat meningkatkan perekonomian daerah, terbatasnya sumber daya lokal yang dapat dikembangkan, pemenuhan sarana prasarana penunjang investasi dan regulasi investasi yang belum sepenuhnya menjamin kepastian berusaha.
2.2.2.5 Pertanian
Meningkatnya aktivitas perkotaan berdampak pada alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Tantangan ke depan adalah mempertahankan dan melestarikan lahan pertanian produktif, meningkatkan produktivitas pertanian yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan menjaga kelestarian lingkungan.

2.2.2.6 Kelautan dan Perikanan
Belum terpenuhinya sarana prasarana perikanan secara optimal menyebabkan produktifitas perikanan dari tahun ke tahun mengalami penurunan, tantangan kedepan adalah membangun industri perikanan pasca tangkap untuk pemenuhan konsumsi lokal dan regional, serta mengembangkan perikanan darat/kolam mempunyai nilai ekonomi tinggi.
2.2.2.7 Pertambangan
Tantangan bidang pertambangan adalah tidak seimbangnnya antara nilai kerusakan lingkungan dengan manfaat yang diperoleh, kendala yang dihadapi adanya regulasi yang membatasi kewenangan pemerintah daerah dalam pengendalian ekploitasi

2.2.2.8 Perdagangan
Intensifnya pasar bebas/globalisasi menuntut peningkatan kualitas produk barang dan jasa secara lebih kompetitif, membanjirnya produk dari luar yang murah memberikan pukulan terhadap pengusaha kecil/ menengah domestik karena kalah bersaing terhadap murahnya harga produk.
Untuk itu, dalam rangka mendorong kemandirian ekonomi dan daya saing produk-¬produk lokal di pasar regional ataupun global, tantangan ke depan adalah meningkatkan kualitas dan produktivitas barang dan jasa secara bertahap dengan tetap mengacu pada Standar Mutu Nasional maupun Standar Mutu Internasional sehingga memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif sebagai produk unggulan Kota Semarang. Berkembangnya pasar modern yang mengakibatkan pasar tradisionil tidak mampu bersaing dan berkembangnya sektor informal yang tidak terkendali.


2.2.2.9 Pariwisata
Tantangan pada pariwisata adalah penyediaan sarana dan prasarana yang memadahi, pengembangan wisata dengan pemanfaatan potensi khas budaya lokal, religi, potensi alam dan buatan menuju Kota Semarang sebagai Daerah Tujuan Wisata.

2.2.3. ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Tantangan yang dihadapi dalam bidang iptek adalah membangun masyarakat yang mampu dalam penguasan, pemaantan dan pengembangan IPTEK, informasi dan komunikasi dalam menghadapi perkembangan global. Tantangan lainnya adalah ketersediaan perangkat teknologi, penyediaan e-goverment bagi birokrasi pemerintahan, ketersediaan perangkat teknologi dalam rangka peningkatan pelayanan publik.


2.2.4. SARANA DAN PRASARANA
Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya di bidang sosial budaya dan perekonomian pada kurun waktu dua puluh tahun ke depan akan membawa konsekuensi terhadap ketersediaan sarana prasarana wilayah yang memadai. Apabila dilihat kondisi sarana prasarana saat ini, untuk dapat memenuhi cakupan layanan dan kenyamanan bagi masyarakat yang berkualitas, maka hal tersebut menjadi tantangan yang cukup berat pada masa datang. Pembangunan di bidang perhubungan, seiring dengan perkembangan dan dinamika masyarakat serta perkembangan perekonomian wilayah memiliki banyak tantangan.
2.2.4.1 Perhubungan
Tantangan dalam kurun waktu dua puluh ke depan adalah memenuhi ketersediaan sarana dan prasarana perhubungan kota , mengembangakan sistem transportasi wilayah yang efisien dan efektif dapat menjangkau ke seluruh wilayah serta dapat menghubungkan antara daerah (sentra-sentra) produksi dan daerah pemasaran, serta menghubungkan antar dan intermoda angkutan (darat, laut dan udara) dan membangun sarana prasrana transportasi massal guna mengantisipasi kemacetan yang akan semakin parah.

2.2.4.2 Perumahan dan permukiman
Tantangan Pembangunan perumahan dan permukiman pada kurun waktu dua puluh tahun ke depan adalah penyediaan dan penataan sarana prasarana yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan memenuhi standar kualitas lingkungan perumahan dan permukiman, pemenuhan tempat tinggal bagi masyarakat kurang mampu, peningkatan kualitas perumahan permukiman pada kawasan kumuh.

2.2.4.3 Sumberdaya air
Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya air dalam rangka menunjang ketahanan pangan dan memenuhi pasokan air baku yang semakin meningkat meliputi meningkatkan sarana dan prasarana sumber daya air dan pengelolaan jaringan irigasi dengan melibatkan masyarakat, pelestarian, dan pengembangkan sumber-sumber air dan penampungan air, pengendalian daya rusak air, pengendalian kualitas air serta terwujudnya kemampuan kelembagaan pengelolaan sarana prasarana sumber daya air yang optimal.
2.2.4.4 Telekomunikasi
Dalam pembangunan telekomunikasi tantangan yang dihadapi adalah mengembangkan dan mengendalikan jaringan telekomunikasi guna memenuhi cakupan layanan telekomunikasi yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
2.2.4.5 Energi
Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan bidang listrik dan energi adalah pemenuhan kebutuhan listrik dan energi bagi rumah tangga dan industri yang semakin meningkat serta pengembangan energi yang terbarukan (ramah lingkungan).


2.2.5. POLITIK DAN TATA PEMERINTAHAN
Perkembangan dalam bidang politik dan tata pemerintahan seiring dengan makin meningkatnya kesadaran politik dan implementasi kebijakan desentralisasi menjadi fokus perhatian bagi pemerintah maupun masyarakat. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi dalam bidang politik dalam pelaksanaan desentralisasi di berbagai bidang adalah peningkatan kedewasaan politik bagi masyarakat dan pengembangan budaya politik, sehingga mampu mendorong demokratisasi yang lebih transparan dan lebih bertanggung jawab, serta mampu menciptakan iklim kondusif yang didukung oleh tata pemerintahan yang baik. Konsolidasi demokrasi akan dihadapkan pula pada tantangan bagaimana melembagakan kebebasan pers/media massa yang profesional. Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi yang bebas dan terbuka, menjadikan pers sebagai alat kontrol atas pemenuhan kepentingan publik dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan menguatnya pelaksanaan desentralisasi, tuntutan terhadap kinerja pelayanan publik yang prima berbasis pada partisipasi masyarakat serta pelaksanaan asas dan norma tata pemerintahan yang baik, menjadi tantangan di masa depan guna memenuhi tingkat kepuasan masyarakat.

2.2.6. KEAMANAN DAN KETERTIBAN
Perubahan geopolitik internasional dan nasional akan sangat memengaruhi kondisi keamanan dan ketertiban. Tantangan yang dihadapi dalam bidang keamanan dan ketertiban ke depan adalah peningkatan jumlah peristiwa kriminal yang diikuti dengan berkembangnya kejahatan non konvensional dan kejahatan konvensional dengan modus baru. Tantangan lainnya adalah penaggulangan bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Kesadaran masyarakat yang tanggap terhadap berbagai potensi ancaman dan gangguan kamtibmas dan bencana perlu ditingkatkan bersama dengan peningkatan sistem pengelolaan keamanan, ketertiban dan penaggulangan bencana yang komprehensif dan partisipatif serta konsistensi dan keadilan penegakan perda.


2.2.7. HUKUM DAN APARATUR
2.2.7.1 Hukum
Tantangan yang dihadapi dalam bidang hukum adalah penegakan hukum secara adil dan tidak diskriminatif. Di samping itu, peningkatan jaminan akan kepastian, rasa keadilan, dan perlindungan hukum, serta harmonisasi produk hukum daerah sesuai perubahan dinamika masyarakat. Hal ini sejalan dengan semakin besarnya tuntutan untuk membentuk peraturan daerah yang baik disertai dengan peningkatan kinerja lembaga dan aparatur hukum serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat dan HAM.

2.2.7.2 Aparatur
Tantangan dalam bidang aparatur pemerintah sebagai pelayan masyarakat ke depan adalah terciptanya aparatur pemerintah yang profesional dan mampu bekerja secara transparan, akuntabel, dan kualitas prima untuk memenuhi kinerja pelayanan publik, dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan dan pelayanan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang makin maju dan demokratis. Kemajuan teknologi dan informasi akan mempengaruhi terjadinya perubahan manajemen penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) dalam bentuk e-government, e-procurement, e-business dan cyber law selain akan menghasilkan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah, juga akan meningkatkan diterapkannya prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik (good governance).



2.2.8. WILAYAH DAN TATA RUANG
Meningkatnya dinamika dan aktivitas penduduk sejalan dengan semakin mantapnya pelaksanaan otonomi daerah, pengaruh arus perdagangan bebas, dan penurunan kualitas sumber daya alam menyebabkan ruang akan menjadi komoditi yang sangat strategis. Untuk itu, pelaksanaan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan merupakan tantangan ke depan yang harus dihadapi dan dipersiapkan bersama dengan seluruh stakeholders. Bertambahnya penduduk dengan sendirinya diikuti meningkatnya kebutuhan ruang untuk pemenuhan kebutuhan prasarana, sarana dan utilitas perkotaan sehingga tantangan yang dihadapi pada bidang wilayah, tata ruang dan pertanahan adalah tingginya kebutuhan ruang dihadapkan pada terbatasnya lahan efektif yang dapat dikembangkan dalam rangka merumuskan kebijakkan dalam kegiatan penataan ruang dalam rangka terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
2.2.8.1 Wilayah
Dengan luas wilayah 373,70 km2, Kota Semarang memiliki wilayah yang terdiri dari wilayah pesisir/pantai, wilayah daratan dan wilayah perbukitan. Permasalahan yang dihadapi adalah ketimpangan pertumbuhan dan perkembangan wilayah, dimana pertumbuhan dan perkembangan wilayah secara intensif tumbuh di pusat kota, sementara wilayah pinggiran kurang memperoleh nilai tambah perkembangan ekonomi kota. Oleh karena itu tantangan ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan pertumbuhan dan perkembangan antara wilayah sesuai dengan potensi masing-masing wilayah untuk mencapai nilai tambah yang berimbang antara masing-masing wilayah sesuai dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Tantangan lainnya adalah sinkronisasi pengembangan antar wilayah agar memberikan manfaat simultan secara agregatif bagi wilayah Kota Semarang. Hal ini dalam pengertian bahwa pengembangan setiap wilayah akan memberikan dukungan kepada pengembangan wilayah lainya sesuai dengan potensi geoekonomi dan geofisiografi. Tantangan lain adalah bagaimana mensinergikan pertumbuhan kota Semarang dengan wilayah-wilayah hinterlandnya.
2.2.8.2 Penataan Ruang
Dengan ditetapkannnya Perda No. 5 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang dan Perda No. 6 sampai No. 15 Tahun 2004 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Bagian Wilayah Kota (BWK) I sampai Bagian Wilayah Kota (BWK) X maka kegiatan penatan ruang dituntut adanya komitmen untuk menjaga konsitensi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaaran ruang agar tercapai tujuan penataan ruang yang aman, produktif dan berkelanjutan serta berkeadilan.
2.2.8.3 Pertanahan
Dalam rangka menjaga keserasian kegiatan penataan ruang maka tantangan dalam bidang pertanahan adalah bagaimana tercipta tertib administrasi pertanahan dalam rangka meminimalisasi konflik-konflik dibidang pertanahan.
Tantangan lainnya adalah banyak terdapat lahan-lahan yang tidak dimanfaatkan secara optimal sesuai fungsi peruntukan yang direncanakan sesuai dengan tata ruang.

2.2.9. SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Laju pembangunan lima tahun terakhir selain berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat juga berdampak terhadap fungsi lingkungan hidup. Eksploitasi sumber daya alam, baik di wilayah daratan maupun laut yang berlebihan dan tidak memerhatikan kelestarian serta kurangnya konservasi sumber daya alam, mengakibatkan menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan, meningkatnya pemanasan global berpotensi meningkatnya bencana longsor, banjir dan rob, kekeringan,kebakaran, angin puyuh di wilayah Kota Semarang.
Eksploitasi air tanah secara berlebihan mengakibatkan penurunan permukaan tanah (land subsidence), memberi dampak perembesan (intrusi) air laut dan rob sampai jauh ke daratan. Sehingga tantangannya adalah mewujudkan regulasi dan pengendalian dalam pengambilan air tanah, serta pemanfaatan sumber daya air secara berkelanjutan.
Meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan aktivitas perkotaan membawa dampak pada meningkatnya polusi (air, tanah, dan udara), baik akibat aktivitas domestik, industri, perdagangan dan transportasi serta kerusakan lingkungan hidup. Tantangan kedepan adalah pemanfaatam teknologi ramah lingkungan serta perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pengurangan/eliminasi polusi perkotaan serta pemulihan lingkungan (kebijakan pengendalian Air Bawah Tanah, Air Permukaan, Air Bersih, Reklamasi Pantai, Penambangan Galian C dan, konservasi lahan)

2.3. ISU STRATEGIS
Dari hasil analisis strategi evaluasi internal dan eksternal dalam SWOT terhadap Kondisi Kota Semarang, maka dapat dirumuskan isu-isu Strategis sebagai berikut :
2.3.1 Sosial, Budaya dan Kehidupan Beragama
1. Kualitas Sumber Daya Manusia
2. Derajad kesehatan masyarakat
3. Diskriminasi, eksploitasi, perdagangan perempuan dan anak.
4. Pengangguran
5. Laju pertumbuhan dan penyebaran penduduk;
6. Pengamalan nilai-nilai agama dan pelestarian nilai-nilai budaya dalam kehidupan bermasyarakat.
7. Kemiskinan
2.3.2 Ekonomi
1. Persaingan kualitas produk dan harga;
2. Struktur ekonomi daerah yang belum mantap;
3. Persaingan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada potensi lokal dengan pemilik modal kuat.
4. Optimalisasi asset pemerintah daerah.
2.3.3 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan masyarakat.


2.3.4 Sarana dan Prasarana
Pemenuhan kebutuhan akan sarana dan prasarana perkotaan skala metropolitan :
1. Urbanisasi
2. kebutuhan sarana dan prasarana skala pelayanan metropolitan
3. ROB dan Banjir
2.3.5 Politik dan Tata Pemerintahan
1. Demokratisasi dan partisipasi Politik
2. Pelayanan publik
3. Penguatan Otonomi Daerah
2.3.6 Keamanan dan Ketertiban
1. Kuantitas dan Kualitas Kriminalitas
2. Budaya Tertib
2.3.7 Hukum dan Aparatur
1. Kepastian dan keadilan hukum dan hak asasi manusia (HAM)
2. Profesionalisme aparatur
2.3.8 Wilayah, Tata Ruang dan Pertanahan
1. Ketimpangan pertumbuhan antar wilayah
2. Inkonsistensi perencanaan dengan pemanfaatan dan pengendalian ruang
3. Konflik Kepentingan Pertanahan
2.3.9 Sumber`Daya Alam dan Lingkungan Hidup
1. Penurunan/Degradasi kualitas lingkungan dan pemanasan global;
2. Erosi, Abrasi, dan Penurunan Permukaan Tanah
3. Reklamasi tambak dan pantai
4. Pertambangan galian C,
5. Intrusi air laut



2.4. MODAL DASAR
Modal dasar Pembangunan adalah merupakan salah satu kekuatan dan peluang baik yang efektif maupun yang potensial yang dimiliki dan didaya gunakan sebagai salah satu dasar pembangunan daerah antara lain :
2.4.1 Daya Saing Ekonomi Daerah.
Kota Semarang, memiliki posisi nilai strategis bagi pertumbuhan ekonomi lokal, nasional maupun internasional. Hal tersebut disebabkan Semarang merupakan pusat pemerintahan di Jawa Tengah dan letaknya pada persimpangan jalur ekonomi dari arah barat, timur dan selatan, serta ditunjang oleh kelengkapan pelayanan transportasi baik darat, laut dan udara. Hal ini menjadikan keunggulan komparatif bagi kegiatan pemasaran dan pergudangan yang menunjang kegiatan perdagangan dan jasa. Keunggulan tersebut tidak akan memberikan manfaat yang optimal tanpa dibarengi dengan usaha-usaha peningkatan keunggulan kompetitif. Keberadaan kedua keunggulan ini akan menjadi pondasi utama untuk membangun ekonomi yang berdaya saing tinggi. Jika kedua keunggulan ini dapat dibangun, maka berbagai peluang ekonomi yang ada dapat dikelola dan berproduksi secara maksimal. Tercapainya kondisi ini akan mengembalikan kejayaan Semarang tempo dulu sebagai salah satu kota niaga.

2.4.2 Kualitas sumber daya manusia.
Potensi sumber daya manusia yang ada merupakan modal dasar pembangunan yang sangat penting. Dari jumlah penduduk sebanyak 1.419.478 jiwa yang ada 69 % merupakan Angkatan kerja produktif. Dari jumlah tersebut 26,04 % merupakan lulusan SLTA ke atas, yang didukung oleh etos kerja dan moralitas keimanan dan ketaqwaan yang tinggi. Di samping itu, banyaknya lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan yang mampu mencetak sumber daya manusia merupakan modal utama terciptanya tenaga kerja terdidik.


2.4.3 Kondisi Kawasan.
Kondisi wilayah Kota Semarang yang terdiri dari wilayah pantai, dataran rendah dan perbukitan memungkinkan masyarakatnya melakukan berbagai aktivitas yang heterogen. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya aktivitas ekonomi yang variatif, dari daerah hulu sampai hilir. Luas wilayah kota Semarang baru terbangun sekitar 40 % masih memungkinkan untuk dioptimalkan bagi pengembangan fungsi-fungsi perkotaan. Secara geografis Kota Semarang terletak di tengah pulau Jawa diantara wilayah barat dan wilayah timur, pada jalur transportasi trans jawa bagian utara, yang dapat memberikan banyak peluang menjadi pusat pertumbuhan nasional.

2.4.4 Pemerintahan dan Pelayanan Publik.
Salah satu potensi pembangunan dan sekaligus menjadi faktor strategis yang dimiliki adalah adanya pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Kondisi potensial ini dapat diperoleh karena Kota Semarang memiliki institusi pemerintahan yang didukung dengan aparatur yang profesional, sistem/standar prosedur penyelesaian tugas yang tertata dengan baik, dan dilengkapi dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berbagai hasil penelitian dan pengembangan yang menunjang peningkatan kinerja pelayanan publik dalam rangka menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance).

2.4.5. Komitmen Pemangku Kepentingan.
Budaya masyarakat bergotong royong, merupakan perilaku masyarakat yg selalu peduli terhadap sesama, selalu saling membantu dan merupakan modal yg tidak ternilai. Semangat dan niat kebersamaan secara individu maupun kelompok masyarakat untuk membangun kota, memajukan masyarakat dari seluruh pemangku kepentingan, hal ini menjamin terwujudnya tujuan pembangunan Kota Semarang.

Nilai-nilai kearifan sosial, budaya dan agama senantiasa mewarnai segala aktivitas warga kota, sehingga menciptakan suasana kehidupan warga kota yang kondusif terciptanya ketertiban dan keamanan. Hal tersebut menjamin berlangsungnya kegiatan pembangunan kota. Selain itu kehidupan berpolitik yang demokratis dan adanya sistem penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) ikut mendukung terciptanya suasana kota yang tertib dan aman tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar